Selasa, 24 Januari 2017

PERTANIAN BERKELANJUTAN

PERTANIAN BERKELANJUTAN

   A.   Latar Belakang
Revolusi Hijau di Indonesia mengemukakan bahwa revolusi hijau dimulai sejak tahun 1870, dimana program tersebut digunakan sebagai cara untuk meningkatkan produksi pangan di Indonesia pada kala itu, sehingga Indonesia dapat meningkatkan swasembada pangan khususnya beras. Pencapaian swasembada pangan akan lebih cepat apabila dilakukan beberapa program, yaitu Program  Bimbingan Massal (Bimas), Program Intensifikasi Massal (Inmas), Program Intensifikasi Khusus (Insus), dan Program Supra Intensifikasi Khusus (Supra Insus). Pada konsep Revolusi Hijau juga dikenal konsep Panca Usaha Tani, yaitu pemilihan dan penggunaan bibit unggul atau varietas unggul, pempukukan yang teratur, pengairan yang cukup, pemberantasan hama secara intensif, dan teknik penanaman yang lebih teratur. Sedangkan untuk meningkatkan produksi pangan perlu dilakukan empat usaha pokok, yaitu intensifikasi pertanian, ekstensifikasi pertanian, diversifikasi pertanian, dan rehabilitasi pertanian.
Revolusi hijau memiliki tujuan yang mulia yaitu menghasilkan bahan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang jumlahnya terus meningkat. Namun, setiap kegiatan yang dilakukan pada Revolusi Hijau tentunya akan menimbulkan dampak yang positif maupun negatif bagi masayarakat dan lingkungan. Dampak positif dari Revolusi Hijau bagi masyarakat adalah masalah pangan nasional teratasi, masyarakat mengenal aneka jenis  tanaman, ditemukan bibit unggul, kesejahteraan petani makin baik dan pendapatan petani meningkat. Sedangkan dampak negatifnya adalah terjadi pencemaran lingkungan, berkurangnya keanekaragaman genetika, kemampuan daya produksi tanah semakin turun, timbul urbanisasi, muncul  kesenjangan sosial antara petani kaya dan miskin akibat perbedaan ekonomi serta sistem kekerabatan pada masing-masing lapisan masyarakat mulai memudar. Sehingga untuk mengatasi permasalah tersebut perlu dilakukan upaya upaya perbaikan salah satunya dengan sistem pertanian berkelanjutan.
   B.     Pembahasan
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Pertanian berkelanjutan juga merupakan pertanian yang berwawasan lingkungan ssecara ekologi, ekononi dan sosial.
Sistem Pertanian Berkelanjutan adalah suatu sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras, dan seimbang dengan lingkungan atau sistem pertanian yang patuh dan tunduk terhadap aturan-aturan alamiah. Sebenarnya sistem tersebut merupakan suatu ‘remain’, mengingatkan kembali pada pola back to nature, yang sudah pernah dilakukan oleh kakek nenek buyut kita.
Segala upaya manusia yang mengingkari kaidah-kaidah hubungan suatu ekosistem dalam jangka pendek mungkin mampu memacu produktivitas lahan dan hasil. Namun dalam jangka panjang biasanya hanya akan berakhir dengan rusak dan hancurnya lingkungan. Kita yakin betul bahwa hukum alam adalah kuasa Tuhan. Manusia sebagai umat-Nya hanya berwenang menikmati dan berkewajiban menjaga dan melestarikannya.
Ciri-ciri pertanian berkelanjutan adalah sebagai berikut:
1.         Secara ekonomi menguntungkan dan dapat dipertanggung jawabkan (economically viable). Petani mampu menghasilkan keuntungan dalam tingkat produksi yang cukup dan stabil, pada tingkat resiko yang bisa ditolerir/diterima.
2.         Berwawasan ekologis (ecologically sound). Kualitas agroekosistem dipelihara atau ditingkatkan, dengan menjaga keseimbangan ekologi serta konservasi keanekaragaman hayati. Sistem pertanian yang berwawasan ekologi adalah sistem yang sehat dan mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap tekanan dan gangguan (stress dan shock).
3.         Berkeadilan sosial. Sistem pertanian yang menjamin terjadinya keadilan dalam akses dan kontrol terhadap lahan, modal, informasi, dan pasar, bagi yang terlibat tanpa membedakan status sosial-ekonomi, gender, agama atau kelompok etnis.
4.         Manusiawi dan menghargai budaya lokal. Menghormati eksistensi dan memperlakukan dengan bijak semua jenis mahluk yang ada. Dalam pengembangan pertanian tidak melepaskan diri dari konteks budaya lokal dan menghargai tatanan nilai, spirit dan pengetahuan lokal
5.         Mampu berdaptasi (adaptable). Mampu menyesuaikan diri terhadap kondisi yang selalu berubah, seperti pertumbuhan populasi, tantangan kebijaksanaan yang baru dan perubahan konstalasi pasar.
Pertanian berkelanjutan juga mempunyai beberapa indikator sehingga pertanian tersebut dapat dikatakan sebagai pertanian berkelanjutan, indikator tersebut adalah:
1.         Menghasilkan produk pertanian yang berkualitas dengan kuantitas memadai,
2.         Membudidayakan tanaman secara alami,
3.         Mendorong dan meningkatkan siklus hidup biologis dalam ekosistem pertanian,
4.          Memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah jangka panjang,
5.         Menghindarkan seluruh bentuk cemaran yang diakibatkan penerapan teknik pertanian,
6.         Memelihara keragaman genetik sistem pertanian
Konsep pertanian berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi keberlanjutan, yaitu: keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), dan keberlanjutan ekologi alam (planet).
Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran pendapatan yang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan asset produktif yang menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indicator utama dimensi ekonomi ini ialah tingat efisiensi dan daya saing, besaran dan pertumbuhan nilai tambah dan stabilitas ekonomi. Dimensi ekonomi menekankan aspek pemenuhan nebutuhan ekonomi manusia baik untuk generasi sekarang ataupun mendatang.
Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhan akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang harmonis (termasuk tercegahnya konflik sosial), preservasi keragaman budaya dan modal sosio-kebudayaan, termasuk perlindungan terhadap suku minoritas. Untuk itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial budaya merupakan indikator-indikator penting yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan.
Dimensi lingkungan alam menekankan kebutuhan akan stabilitas ekosistem alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam. Termasuk dalam hal ini ialah terpeliharanya keragaman hayati dan daya tekstur bilogis, sumber daya tanah, air dan agroklimat, serta kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Penekanan dilakukan pada preservasi daya lentur dan dinamika ekosistem untuk beradaptasi terhadap perubahan bukan pada konservasi sustu kondisi ideal statis yang mustahil dapat diwujudkan. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus dipertimbangkan secara berimbang. Sistem sosial yang stabil dan sehat serta sumberdaya alam dan lingkungan merupakan basis untuk kegiatan ekonomi, sementara kesejahteraan ekonomi merupakan prasyarat untuk terpeliharanya stabilitas sosial budaya maupun kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sistem sosial yang tidak stabil atau sakit akan cenderung menimbulkan tindakan yang merusak kelestarian sumber daya alam dan merusak kesehatan lingkungan, sementara ancaman kelestarian sumber daya alam dan lingkungan dapat mendorong terjadinya kekacauan dan penyakit sosial.
Beberapa kegiatan yang diharapkan dapat menunjang dan memberikan kontribusi dalam meningkatkan keuntungan produktivitas pertanian dalam jangka panjang, meningkatkan kualitas lingkungan, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat pedesaan adalah sebagai berikut:
1.         Pengendalian Hama Terpadu
Pengendalian Hama Terpadu merupakan suatu pendekatan untuk mengendalikan hama yang dikombinasikan dengan metode-metode biologi, budaya, fisik dan kimia, dalam upaya untuk meminimalkan; biaya, kesehatan dan resiko-resiko lingkungan. Adapun caranya dapat melalui:
a.       Penggunaan insek, reptil atau binatang-binatang yang diseleksi untuk mengendalikan hama atau dikenal musuh alami hama, seperti Tricogama sp., sebagai musuh alami dari parasit telur dan parasit larva hama tanaman.
b.      Menggunakan tanaman-tanaman “penangkap” hama, yang berfungsi sebagai pemikat (atraktan), yang menjauhkan hama dari tanaman utama.
c.       Menggunakan drainase dan mulsa sebagai metode alami untuk menurunkan infeksi jamur, dalam upaya menurunkan kebutuhan terhadap fungisida sintetis.
d.      Melakukan rotasi tanaman untuk memutus populasi pertumbuhan hama setiap tahun.
2.         Sistem Rotasi dan Budidaya Rumput
Sistem pengelolaan budidaya rumput intensif yang baru adalah dengan memberikan tempat bagi binatang ternak di luar areal pertanian pokok yang ditanami rumput berkualitas tinggi, dan secara tidak langsung dapat menurunkan biaya pemberian pakan. Selain itu, rotasi dimaksudkan pula untuk memberikan waktu bagi pematangan pupuk organik. Areal peternakan yang dipadukan dengan rumput atau kebun buah-buahan dapat memiliki keuntungan ganda, antara lain ternak dapat menghasilkan pupuk kandang yang merupakan pupuk untuk areal pertanian.
3.         Konservasi Lahan
Beberapa metode konservasi lahan termasuk penanaman alur, mengurangi atau tidak melakukan pembajakan lahan, dan pencegahan tanah hilang baik oleh erosi angin maupun erosi air. Kegiatan konservasi lahan dapat meliputi:
a.       Menciptakan jalur-jalur konservasi.
b.      Menggunakan dam penahan erosi.
c.       Melakukan penterasan.
d.      Menggunakan pohon-pohon dan semak untuk menstabilkan tanah.
4.         Menjaga Kualitas Air/Lahan Basah
Konservasi dan perlindungan sumberdaya air telah menjadi bagian penting dalam pertanian. Banyak diantara kegiatan-kegiatan pertanian yang telah dilaksanakan tanpa memperhatikan kualitas air. Biasanya lahan basah berperan penting dalam melakukan penyaringan nutrisi (pupuk anoraganik) dan pestisida. Adapun langkah-langkah yang ditujukan untuk menjaga kualitas air, antara lain:
a.       Mengurangi tambahan senyawa kimia sintetis ke dalam lapisan tanah bagian atas (top soil) yang dapat mencuci hingga muka air tanah (water table).
b.      Menggunakan irigasi tetes (drip irrigation).
c.       Menggunakan jalur-jalur konservasi sepanjang tepi saluran air.
d.      Melakukan penanaman rumput bagi binatang ternak untuk mencegah peningkatan racun akibat aliran air limbah pertanian yang terdapat pada peternakan intensif.
5.         Tanaman Pelindung
Penanaman tanaman-tanaman seperti gandum dan semanggi pada akhir musim panen tanaman sayuran atau sereal, dapat menyediakan beberapa manfaat termasuk menekan pertumbuhan gulma (weed), pengendalian erosi, dan meningkatkan nutrisi dan kualitas tanah.
6.         Diversifikasi Lahan dan Tanaman
Bertanam dengan memiliki varietas yang cukup banyak di lahan pertanian dapat mengurangi kondisi ekstrim dari cuaca, hama penggangu tanaman, dan harga pasar. Peningkatan diversifikasi tanaman dan jenis tanaman lain seperti pohon-pohon dan rumput-rumputan, juga dapat memberikan kontribusi terhadap konservasi lahan, habitat binatang, dan meningkatkan populasi serangga yang bermanfaat. Beberapa langkah kegiatan yang dilakukan:
a.       Menciptakan sarana penyediaan air, yang menciptakan lingkungan bagi katak, burung dan binatang-binatang lainnya yang memakan serangga dan insek.
b.      Menanam tanaman-tanaman yang berbeda untuk meningkatkan pendapatan sepanjang tahun dan meminimalkan pengaruh dari kegagalan menanam sejenis tanaman saja.
7.         Pengelolaan Nutrisi Tanaman
Pengelolaan nutrisi tanaman dengan baik dapat meningkatkan kondisi tanah dan melindungi lingkungan tanah. Peningkatan penggunaan sumberdaya nutrisi di lahan pertanian, seperti pupuk kandang dan tanaman kacang-kacangan (leguminosa) sebagai penutup tanah dapat mengurangi biaya pupuk anorganik yang harus dikeluarkan. Beberapa jenis pupuk organik yang bisa digunakan antara lain:
a.       Pengomposan
b.      Penggunaan kascing
c.       Penggunaan Pupuk Hijauan (dedaunan)
d.      Penambahan nutrisi pada tanah dengan emulsi ikan dan rumput laut.
8.         Agroforestri (wana tani)
Agroforestri merupakan suatu sistem tata guna lahan yang permanen, dimana tanaman semusim maupun tanaman tahunan ditanam bersama atau dalam rotasi membentuk suatu tajuk yang berlapis, sehingga sangat efektif untuk melindungi tanah dari hempasan air hujan. Sistem ini akan memberikan keuntungan baik secara ekologi maupun ekonomi. Beberapa keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri ini antara lain:
a.       Dapat diperoleh secara berkesinambungan hasil tanaman-tanaman musiman dan tanaman-tanaman tahunan.
b.      Dapat dicegah terjadinya serangan hama secara total yang sering terjadi pada tanaman satu jenis (monokultur).
c.       Keanekaan jenis tanaman yang terdapat pada sistem agroforestri memungkinkan terbentuknya stratifikasi tajuk yang mengisi ruang secara berlapis ke arah vertikal.
d.      Adanya struktur stratifikasi tajuk seperti ini dapat melindungi tanah dari hempasan air hujan, karena energi kinetik air hujan setelah melalui lapisan tajuk yang berlapis-lapis menjadi semakin kecil daripada energi kinetik air hujan yang jatuh bebas.
   C.     Penutup
Pertanian berkelanjutan berusa menekan dampak negatif yang dihasilkan oleh input pertanian agar alam tetap lestari dan tidak membahayakan generasi yang akan datang. Sehingga pertanian berkelanjutan juga diharapkan dapat mengubah kehidupan masyarakan menjadi lebih baik.









DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2015. Pertanian Berkelanjutan. www.spi.or.id/?page_id=549. Diakses pada 27 April 2015 pukul 20.31 WIB.
Rahman, Edi. Pertanian Berkelanjutan. 2013. https://meiliazakiyah1409.wordpress.com/2013/12/14/pertanian-berkelanjutan/. Diakses pada 27 April 2015 pukul 20.19 WIB.

Taufik. 2014 Pertanian Berkelanjutan. organichcs.com/2014/01/15/pertanian-berkelanjutan/. Diakses pada 27 April 2015 pukul 20.35 WIB.

Jumat, 01 Januari 2016

Involusi Pertanian



Pemikiran tentang involusi pertanian adalah merupakan sejarah sosial ekonomi di Pulau Jawa yang secara sistematis menjelaskan kesulitan-kesulitan pemerintah Indonesia ketika mulai lepas landas kepertumbuhan ekonomi yang berlanjut atau lebih dikenal sebagai sustained economic growth (1983).
Involusi sendiri diambil dari istilah Antropologi yang diperoleh dari Alexander Goldenweiser, yang dipakai untuk melukiskan pola kebudayaan yang sudah mencapai bentuk yang pasti tidak berhasil menstabilisasikannya atau mengubahnya menjadi suatu pola baru, tetapi terus-menerus berkembang ke dalam sehingga semakin rumit.
Teori involusi dikemukaan oleh seorang tokoh terkemuka dalam penelitian antropologi di Jawa, yakni Clifford Geertz. Dia menelurkan teori involusi pertanian yang kemudian menjadi paradigma dominan dalam pengkajian pedesaan jawa pada tahun 1960-an dan 1970-an. Involusi menurut Geertz:
Involusi pertanian dapat pula dikatakan sebagai kemandegan ekonomi pertanian. Menurut Geertz kapitalisme Barat-lah membawa masyarakat Jawa ke dalam suatu proses involusi pertanian. Penetrasi kapitalisme Barat terhadap sistem pertanian Jawa di satu sisi membawa kemakmuran di Barat tapi di satu sisi mengakibatkan proses “tinggal landas” berupa peningkatan jumlah penduduk pedesaan. Kelebihan penduduk ini dapat diserap sawah melalui proses involusi, yakni suatu kerumitan berlebihan yang semakin rinci yang memungkinkan tiap orang tetap menerima bagian dari panen meskipun bagiannya menjadi semakin kecil. Involusi pertanian menempatkan petani sebagai subyek yang pasif, statis, tunduk kepada sistem yang menguasainya, dalam hal ini pemerintah kolonial, sehingga selalu sibuk beradaptasi ke dalam (intern) untuk menjaga kelangsungan sistem. Dalam perspektif ini, nilai-nilai budaya petani Jawa menjadi penting sebagai orientasi. Involusi pertanian tak lain adalah produk dari kerja kebudayaan petani Jawa.
Untuk mendukung pendapatnya, Geertz membandingkan ciri-ciri ekologi dan demografi daerah penghasil tebu untuk pabrik gula dengan daerah lain yang belum dimasuki pabrik gula. Geertz menyimpulkan bahwa sekitar tahun 1920 daerah gula secara proporsional memiliki: lebih banyak sawah, lebih banyak penduduk, meski lebih banyak tanah sawahnya ditanami tebu, namun produksi berasnya lebih besar daripada daerah bukan gula. Pertambahan jumlah penduduk memaksa masyarakat bekerja di bidang pertanian karena perkembangan di sektor non pertanian tidak mengimbangi pertumbuhan penduduk. Memang, ada usaha untuk meningkatkan kesempatan kerja dengan perbaikan teknik pertanian (intensifikasi), namun usaha itu tak lebih ibarat orang yang berjalan di tempat. Dilihat dari hasil produksi beras yang dihasilkan dari tahun 1830-1940 nampak ada peningkatan, namun jika dilihat dari pendapat per kapita penduduk kurang lebih tetap konstan.
Dengan mempertahankan sistem pemilikan komunal tanah pedesaan, tanpa mengubah secara mendasar ciri ekonomi subsistensi pedesaan itu dan dalam melestarikan kebersamaan kehidupan sosial-ekonomi pedesaan itu, masyarakat Jawa akan tetap berada pada stagnansi ekonomi. Ciri-cirinya yaitu kemiskinan di pedesaan yang tinggi, produktivitas pertanian stagnan, serta perkembangan sektor pertanian cenderung menurun.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda membawa produk pertanian dari Jawa yang subur ke pasar dunia, di mana produk-produk tersebut sangat dibutuhkan dan laku, tanpa mengubah secara fundamental struktur ekonomi pribumi. Namun, pemerintah kolonial tak pernah berhasil mengembangkan ekonomi ekspor secara luas di pasar dunia sehingga kepentingan utama Pemerintah Belanda tetaplah bertumpu pada koloninya: Hindia Belanda. Upaya pemerintah kolonial untuk meraih pasar internasional adalah mempertahankan pribumi tetap pribumi, dan terus mendorong mereka untuk berproduksi bagi memenuhi kebutuhan pasar dunia. Keadaan ini mewujudkan struktur ekonomi yang secara intrinsik tidak seimbang, yang oleh JH Boeke (1958) disebut dualisme ekonomi.
Pada sektor lokal, ada satuan pertanian keluarga, industri rumah tangga, dan perdagangan kecil. Kalau pada sektor ekspor terjadi peningkatan yang dipicu oleh harga komoditas dunia, maka sektor domestik justru mengalami kemerosotan dan kemunduran. Tanah dan petani semakin terserap ke sektor pertanian komersial yang dibutuhkan Pemerintah Hindia Belanda untuk perdagangan dunia. Akibatnya adalah semakin meningkatnya populasi petani yang berupaya melakukan kompensasi penghasilan uang -hal ini semakin dimantapkan menjadi kebiasaan- dengan intensifikasi produksi pertanian subsisten. Proses pemiskinan di pedesaan Jawa dijelaskan Geertz dalam konteks ini. Kemiskinan di Jawa adalah produk interaksi antara penduduk pribumi (petani di Jawa) dan struktur kolonial pada tingkat nasional dalam konteks politik-ekonomi. Adapun keterkaitan proses pemiskinan dan involusi pertanian di Jawa, dijelaskan Geertz sebagai suatu pola kebudayaan yang memiliki suatu bentuk yang definitif, yang terus berkembang menjadi semakin rumit ke dalam. Pertanian  dan petani Jawa secara khusus, dan kehidupan sosial orang Jawa secara umum, harus bertahan untuk menghadapi realita meningkatnya jumlah penduduk dan tekanan kolonial.
Difersivikasi adalah perluasan dari suatu produk yang diusahakan selama ini ke produk atau industri baru yang sebelumnya tidak diusahakan. Ini dilakuakan untuk meminimkan resiko, untuk menghindari akibat buruk dari fluktuasi ekonomi.
Dalam pertanian dan perkebunan difersivikasi dikatakan sebagai pergeseran sumberdaya dari satu tanaman menjadi campur tanaman, untuk mengurangi kegagalan resiko alam dan meningkatkan hasil dari tiap komoditas yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani. Definisi tersebut menekankan pentingnya perubahan sumberdaya bernilai rendah, yang sering direfleksikan sebagai peningkatan tingkat spesialisasi ke dalam aktifitas yang bernilai tinggi.
Kasryno (2004), dilihat dari segi ekonomi, difersivikasi bertujuan memperkecil resiko yang disebabkan oleh dinamika harga dan faktor ekonomi lainnya serta perubahan iklim. Difersivikasi berpeluang meningkatkan pemanfaatan sumberdaya manusia, peningkatan sumberdaya manusia, peningkatan kesempatan kerja dan kesempatan perusahaan serta pemanfaatan sumberdaya alam. Dari segi budidaya, difersivikasi memperkecil pengaruh iklim.
Menurut Hayami dan Otsuka (1992), Berdasarkan definisi di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan: (a) Pergeseran sumberdaya dari kenyataan usaha tani ke non usaha tani, (b) Penggunaan sumberdaya dalam skala besar berupa campuran tani berbagai komoditas dan kegiatan yang menunjangnya, (c) Perubahan sumberdaya dari komoditas pertanian bernilai rendah ke komoditasa pertanian bernilai tinggi.
Alasan masyarakat perlu melakukan difersivikasi karena :
a. Memaksimalkan efisiensi penggunaan sumberdaya, terutama efisiensi penggunaan lahan dan waktu, simbiosis dalam usaha dan intensifikasi penggunaan tenaga kerja.
b. Mengurangi resiko produksi, harga dan pendapatan.
c. Merespon perubahan permintaan.
d. Mempertahankan kesuburan lahan.
Contoh nyata adalah keadaan petani yang ada di Jombang mayoritas adalah petani kecil yaitu petani yang memiliki lahan kurang dari 5 hektar (<5 ha). Selain itu banyak juga yang hanya menjadi buruh tani yang pendapatannya juga lebih sedikit dari petani kecil. Rata-rata di Jombang Pendapatan petani merupakan satu-satunya pendapatan yang akan diperoleh petani dan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Jadi, usaha pertanian merupakan usaha tunggal yang dijalani oleh sebagian besar keluarga petani di Jombang.
Daya beli keluarga petani kecil sangatlah rendah, karena pendapatan yang diperoleh petani dari hasil pertanian sangatlah sedikit dan kurang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarganya. Jadi, sebenarnya keluarga petani harus mempunyai pemikiran dan aktivitas lain yang bisa mendongkrak atau menaikkan daya beli keluarga petani menjadi lebih tinggi, sehingga keluarga petani mempunyai pemasukan yang lebih tinggi dari pada pengeluaran yang mereka butuhkan dalam memenuhi kebutuhannya.
Keluarga petani kecil yang ada di Jombang merupakan salah satu keluarga yang kurang sejahtera. Hal ini disebabkan harga jual padi (gabah) adalah Rp. 1.600/kg, sampai dengan Rp. 1.800/kg. Ini jauh dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan sebesar Rp 2.000. Harga tersebut cukup memberatkan keluarga petani sebab biaya produksi ternyata lebih besar dari pada pendapatan atau harga jual.
Pendapatan utama petani kecil selama menunggu panen padi dengan tenggang sekitar 4 bulan adalah menjadi buruh tani di lahan-lahan pertanian milik petani lain. Biasanya jam kerja mulai jam 06.00 WIB sampai dengan jam 10.00 WIB atau sampai dengan jam 12.00 WIB. Perolehan atau upah yang diperoleh oleh petani tersebut pada umumnya adalah:
Laki-laki
Jam 06.00 – 10.00
Jam 06.00 – 12.00
Rp. 12.000, + rokok
Rp. 15.000, + rokok
Perempuan
Jam 06.00 – 10.00
Jam 06.00 – 12.00
Rp. 7.000,
Rp. 10.000,
Upah yang diperoleh antara petani laki-laki dan perempuan berbeda. Karena pertimbangan tenaga yang dimiliki oleh petani laki-laki dan perempuan berbeda yaitu lebih besar petani laki-laki. Upah yang diperoleh petani tersebut sangatlah kecil sehingga tidak mampu menutup biaya kehidupan petani dan kelurganya.
Suatu indeks yang membandingkan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yaitu yang disebut Indeks Nilai Tukar Petani menunjukkan bahwa bahwa dengan mendasarkan pada tahun dasar 2000, tahun 2006 menanam padi bagi petani di Jawa sama sekali tidak menguntungkan. Keadaan ini juga terjadi pada petani lainnya secara umum, di mana kehidupan petani di Jawa tidak dapat semata-mata ditopang dengan kegiatan pertanian. (sensus pertanian 2005/2006).
Oleh karena itu, keluarga petani yang ada di Jombang harusnya menggali potensi sumber daya manusia yang mereka miliki kemudian dapat disesuaikan dengan sumber daya alam yang ada di Jombang dan sekitarnya.
Fagi dan Partohardjono (2004) mengatakan ada lima strategi untuk meningkatkan pendapatan, yaitu: (1) Intensifikasi pola produksi, (2) Penganekaragaman produksi dan pengolahan hasil, (3) Perluasan tanaman atau lahan yang akan ditanami, (4) Peningkatan pendapatan dari luar pertanian, baik yang berbasis pertanian ataupun non pertanian, (5) Usaha luar sektor pertanian apabila potensi sumberdaya tidak prospektif
Lahan-lahan milik petani di Jombang banyak yang masih kosong dan sebagian ditanami pohon pisang, singkong, jarak dan sebagainya. Akan tetapi selama ini hasil tanaman tersebut hanya dijadikan sebagai tanaman tambahan saja dan hasilnya hanya dijual mentah, karena kurang mengertinya masyarakat tentang bagaimana cara mengolah atau meningkatkan nilai jual hasil alam tersebut.
Ada sebagian kecil masyarakat atau keluarga petani yang sudah mulai melakukan diversifikasi pertanian dan perkebunan, misalnya dengan memproduksi atau mengolah hasil tanaman yang banyak ditemui di Jombang yaitu pisang, singkong, pohon jarak dan sebagainya. Sebenarnya tidak telalu sulit untuk mengolah bahan mentah hasil alam menjadi bahan jadi (layak jual), asal ada kemauan dan kemampuan (skill) yang dimiliki oleh setiap orang.
Usaha untuk meningkatkan daya beli petani melalui diversifikasi (usaha pengembangan) sangat baik untuk diterapkan, khususnya dapat dijalankan oleh ibu-ibu rumah tangga. Jadi pendapatan keluarga tidak hanya ditopang dari hasil pertanian saja tapi juga berasal dari usaha lain yang dapat mendongkrak perekonomian keluarga petani. Akan tetapi masih sangat sedikit keluarga petani yang melakukan diversifikasi pertanian dan perkebunan dengan usaha mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi (siap jual) karena banyak masyarakat yang kurang mengerti bagaimana cara mengolah atau memproduksi bahan tersebut sehingga nilai jual barang tersebut menjadi lebih tinggi.
Keluarga petani kecil di Jombang kurang mengerti bagaimana cara mengolah hasil sumber daya alam lokal yang sebenarnya cukup potensial untuk dikembangkan karena kurang adanya perhatian lebih dari pemerintah. Pemerintah harusnya memberdayakan keluarga petani, khususnya petani kecil untuk lebih mengembangkan kemampuan di bidang lain yang sebenarnya lebih berpotensi untuk meningkatkan daya beli keluarga petani.
Daya beli keluarga petani kecil di Jombang akan semakin tinggi jika keluarga petani melakukan diversifikasi pertanian dan perkebunan atau pengembangan usaha dalam bidang pertanian ataupun perkebunan. Jadi pendapatan keluarga petani dapat terdongkrak (mendapat tambahan) dari hasil lain selain pertanian tanpa meninggalkan usahanya di bidang pertanian dan perkebunan, perwujudan diversifikasi itu diantaranya berupa:
1.       Pengolahan bahan dasar pisang dan singkong menjadi kripik pisang dan singkong. Hal ini bisa ditemukan di dusun Sucen desa Ngrandulor Kecamatan Peterongan. Survai yang dilakukan penulis menemukan, walaupun mayoritas penduduknya adalah petani kecil akan tetapi usaha pembuatan kripik singkong dan pisang dapat membantu menaikkan daya beli keluarga petani di kawasan tersebut menjadi lebih tinggi. Usaha yang dijalani di Sucen itu dikerjakan oleh ibu-ibu keluarga petani yang ada di dusun tersebut dan sekitarnya. Di Sucen ada 3 tempat pembuatan kripik pisang dan singkong. Perolehan mereka lebih tinggi dua kali lipat dibanding perolehan dari upah buruh tani, tanpa harus berpanas-panasan di bawah terik matahari. Karena setiap orang rata-rata mendapat Rp. 20.000, sampai dengan Rp. 25.000 perhari, sedangkan upah buruh tani hanya sebesar Rp. 7.000 sampai dengan Rp. 10.000.
2.       Budidaya pohon jarak yang kemudian bisa diolah menjadi bahan bakar minyak, terkadang juga dimanfaatkan daun dan getahnya sebagai obat atau ramuan untuk pengobatan. Biji-biji jarak pagar mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, yaitu dapat dijadikan bahan bakar untuk kendaraan dan mesin-mesin otomotif lainnya. Ini akibat terjadinya krisis energi tak terbarukan semacam bahan bakar minyak (BBM) yang melanda bangsa kita. Jadi, tanaman jarak pagar mulai dilirik untuk dijadikan alternatif bahan bakar. Dan yang terpenting, jarak pagar dapat diperbaharui, sehingga relatif lebih ‘abadi’ dan lebih bersahabat dengan lingkungan. Memperhatikan potensi tanaman jarak yang mudah tumbuh, dapat dikembangkan sebagai sumber bahan penghasil minyak bakar alternatif dan pada lahan kritis dapat memberikan harapan baru pengembangan agribisnis. Tanaman jarak tergolong tanaman yang mudah tumbuh Keuntungan yang diperoleh pada budidaya tanaman jarak di lahan kritis antara lain menunjang usaha konservasi lahan-lahan kritis, memberikan kesempatan kerja sehingga berimplikasi meingkatkan penghasilan kepada petani dan memberikan solusi pengadaan minyak bakar (Radar Mojokerto, 20 Agustus 2006).
Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan bantuan dan melakukan pemberdayaan keluarga petani yang ada di kabupaten Jombang. Misalkan dengan pelatihan ataupun pendampingan keluarga petani untuk membuka dan menjalankan usaha tambahan yang bisa mendongkrak perekonomian keluarga petani di Jombang agar daya beli keluarga petani kecil bisa lebih tinggi. Sebab masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat karena belum adanya varietas unggul, jumlah ketersediaan benih terbatas, teknik budidaya yang belum memadai dan sistem pemasaran serta harga yang belum ada standar.
Jadi pemerintah harus melakukan penekanan untuk pemerataan pemberdayaan keluarga petani kecil di Jombang dengan kebijakan-kebijakan dan kegiatan-kegiatan agar dapat mengurangi ketimpangan sosial yang sangat banyak menyengsarakan masyarakat, khususnya petani kecil.