Jumat, 01 Januari 2016

Involusi Pertanian



Pemikiran tentang involusi pertanian adalah merupakan sejarah sosial ekonomi di Pulau Jawa yang secara sistematis menjelaskan kesulitan-kesulitan pemerintah Indonesia ketika mulai lepas landas kepertumbuhan ekonomi yang berlanjut atau lebih dikenal sebagai sustained economic growth (1983).
Involusi sendiri diambil dari istilah Antropologi yang diperoleh dari Alexander Goldenweiser, yang dipakai untuk melukiskan pola kebudayaan yang sudah mencapai bentuk yang pasti tidak berhasil menstabilisasikannya atau mengubahnya menjadi suatu pola baru, tetapi terus-menerus berkembang ke dalam sehingga semakin rumit.
Teori involusi dikemukaan oleh seorang tokoh terkemuka dalam penelitian antropologi di Jawa, yakni Clifford Geertz. Dia menelurkan teori involusi pertanian yang kemudian menjadi paradigma dominan dalam pengkajian pedesaan jawa pada tahun 1960-an dan 1970-an. Involusi menurut Geertz:
Involusi pertanian dapat pula dikatakan sebagai kemandegan ekonomi pertanian. Menurut Geertz kapitalisme Barat-lah membawa masyarakat Jawa ke dalam suatu proses involusi pertanian. Penetrasi kapitalisme Barat terhadap sistem pertanian Jawa di satu sisi membawa kemakmuran di Barat tapi di satu sisi mengakibatkan proses “tinggal landas” berupa peningkatan jumlah penduduk pedesaan. Kelebihan penduduk ini dapat diserap sawah melalui proses involusi, yakni suatu kerumitan berlebihan yang semakin rinci yang memungkinkan tiap orang tetap menerima bagian dari panen meskipun bagiannya menjadi semakin kecil. Involusi pertanian menempatkan petani sebagai subyek yang pasif, statis, tunduk kepada sistem yang menguasainya, dalam hal ini pemerintah kolonial, sehingga selalu sibuk beradaptasi ke dalam (intern) untuk menjaga kelangsungan sistem. Dalam perspektif ini, nilai-nilai budaya petani Jawa menjadi penting sebagai orientasi. Involusi pertanian tak lain adalah produk dari kerja kebudayaan petani Jawa.
Untuk mendukung pendapatnya, Geertz membandingkan ciri-ciri ekologi dan demografi daerah penghasil tebu untuk pabrik gula dengan daerah lain yang belum dimasuki pabrik gula. Geertz menyimpulkan bahwa sekitar tahun 1920 daerah gula secara proporsional memiliki: lebih banyak sawah, lebih banyak penduduk, meski lebih banyak tanah sawahnya ditanami tebu, namun produksi berasnya lebih besar daripada daerah bukan gula. Pertambahan jumlah penduduk memaksa masyarakat bekerja di bidang pertanian karena perkembangan di sektor non pertanian tidak mengimbangi pertumbuhan penduduk. Memang, ada usaha untuk meningkatkan kesempatan kerja dengan perbaikan teknik pertanian (intensifikasi), namun usaha itu tak lebih ibarat orang yang berjalan di tempat. Dilihat dari hasil produksi beras yang dihasilkan dari tahun 1830-1940 nampak ada peningkatan, namun jika dilihat dari pendapat per kapita penduduk kurang lebih tetap konstan.
Dengan mempertahankan sistem pemilikan komunal tanah pedesaan, tanpa mengubah secara mendasar ciri ekonomi subsistensi pedesaan itu dan dalam melestarikan kebersamaan kehidupan sosial-ekonomi pedesaan itu, masyarakat Jawa akan tetap berada pada stagnansi ekonomi. Ciri-cirinya yaitu kemiskinan di pedesaan yang tinggi, produktivitas pertanian stagnan, serta perkembangan sektor pertanian cenderung menurun.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda membawa produk pertanian dari Jawa yang subur ke pasar dunia, di mana produk-produk tersebut sangat dibutuhkan dan laku, tanpa mengubah secara fundamental struktur ekonomi pribumi. Namun, pemerintah kolonial tak pernah berhasil mengembangkan ekonomi ekspor secara luas di pasar dunia sehingga kepentingan utama Pemerintah Belanda tetaplah bertumpu pada koloninya: Hindia Belanda. Upaya pemerintah kolonial untuk meraih pasar internasional adalah mempertahankan pribumi tetap pribumi, dan terus mendorong mereka untuk berproduksi bagi memenuhi kebutuhan pasar dunia. Keadaan ini mewujudkan struktur ekonomi yang secara intrinsik tidak seimbang, yang oleh JH Boeke (1958) disebut dualisme ekonomi.
Pada sektor lokal, ada satuan pertanian keluarga, industri rumah tangga, dan perdagangan kecil. Kalau pada sektor ekspor terjadi peningkatan yang dipicu oleh harga komoditas dunia, maka sektor domestik justru mengalami kemerosotan dan kemunduran. Tanah dan petani semakin terserap ke sektor pertanian komersial yang dibutuhkan Pemerintah Hindia Belanda untuk perdagangan dunia. Akibatnya adalah semakin meningkatnya populasi petani yang berupaya melakukan kompensasi penghasilan uang -hal ini semakin dimantapkan menjadi kebiasaan- dengan intensifikasi produksi pertanian subsisten. Proses pemiskinan di pedesaan Jawa dijelaskan Geertz dalam konteks ini. Kemiskinan di Jawa adalah produk interaksi antara penduduk pribumi (petani di Jawa) dan struktur kolonial pada tingkat nasional dalam konteks politik-ekonomi. Adapun keterkaitan proses pemiskinan dan involusi pertanian di Jawa, dijelaskan Geertz sebagai suatu pola kebudayaan yang memiliki suatu bentuk yang definitif, yang terus berkembang menjadi semakin rumit ke dalam. Pertanian  dan petani Jawa secara khusus, dan kehidupan sosial orang Jawa secara umum, harus bertahan untuk menghadapi realita meningkatnya jumlah penduduk dan tekanan kolonial.
Difersivikasi adalah perluasan dari suatu produk yang diusahakan selama ini ke produk atau industri baru yang sebelumnya tidak diusahakan. Ini dilakuakan untuk meminimkan resiko, untuk menghindari akibat buruk dari fluktuasi ekonomi.
Dalam pertanian dan perkebunan difersivikasi dikatakan sebagai pergeseran sumberdaya dari satu tanaman menjadi campur tanaman, untuk mengurangi kegagalan resiko alam dan meningkatkan hasil dari tiap komoditas yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani. Definisi tersebut menekankan pentingnya perubahan sumberdaya bernilai rendah, yang sering direfleksikan sebagai peningkatan tingkat spesialisasi ke dalam aktifitas yang bernilai tinggi.
Kasryno (2004), dilihat dari segi ekonomi, difersivikasi bertujuan memperkecil resiko yang disebabkan oleh dinamika harga dan faktor ekonomi lainnya serta perubahan iklim. Difersivikasi berpeluang meningkatkan pemanfaatan sumberdaya manusia, peningkatan sumberdaya manusia, peningkatan kesempatan kerja dan kesempatan perusahaan serta pemanfaatan sumberdaya alam. Dari segi budidaya, difersivikasi memperkecil pengaruh iklim.
Menurut Hayami dan Otsuka (1992), Berdasarkan definisi di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan: (a) Pergeseran sumberdaya dari kenyataan usaha tani ke non usaha tani, (b) Penggunaan sumberdaya dalam skala besar berupa campuran tani berbagai komoditas dan kegiatan yang menunjangnya, (c) Perubahan sumberdaya dari komoditas pertanian bernilai rendah ke komoditasa pertanian bernilai tinggi.
Alasan masyarakat perlu melakukan difersivikasi karena :
a. Memaksimalkan efisiensi penggunaan sumberdaya, terutama efisiensi penggunaan lahan dan waktu, simbiosis dalam usaha dan intensifikasi penggunaan tenaga kerja.
b. Mengurangi resiko produksi, harga dan pendapatan.
c. Merespon perubahan permintaan.
d. Mempertahankan kesuburan lahan.
Contoh nyata adalah keadaan petani yang ada di Jombang mayoritas adalah petani kecil yaitu petani yang memiliki lahan kurang dari 5 hektar (<5 ha). Selain itu banyak juga yang hanya menjadi buruh tani yang pendapatannya juga lebih sedikit dari petani kecil. Rata-rata di Jombang Pendapatan petani merupakan satu-satunya pendapatan yang akan diperoleh petani dan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Jadi, usaha pertanian merupakan usaha tunggal yang dijalani oleh sebagian besar keluarga petani di Jombang.
Daya beli keluarga petani kecil sangatlah rendah, karena pendapatan yang diperoleh petani dari hasil pertanian sangatlah sedikit dan kurang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarganya. Jadi, sebenarnya keluarga petani harus mempunyai pemikiran dan aktivitas lain yang bisa mendongkrak atau menaikkan daya beli keluarga petani menjadi lebih tinggi, sehingga keluarga petani mempunyai pemasukan yang lebih tinggi dari pada pengeluaran yang mereka butuhkan dalam memenuhi kebutuhannya.
Keluarga petani kecil yang ada di Jombang merupakan salah satu keluarga yang kurang sejahtera. Hal ini disebabkan harga jual padi (gabah) adalah Rp. 1.600/kg, sampai dengan Rp. 1.800/kg. Ini jauh dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan sebesar Rp 2.000. Harga tersebut cukup memberatkan keluarga petani sebab biaya produksi ternyata lebih besar dari pada pendapatan atau harga jual.
Pendapatan utama petani kecil selama menunggu panen padi dengan tenggang sekitar 4 bulan adalah menjadi buruh tani di lahan-lahan pertanian milik petani lain. Biasanya jam kerja mulai jam 06.00 WIB sampai dengan jam 10.00 WIB atau sampai dengan jam 12.00 WIB. Perolehan atau upah yang diperoleh oleh petani tersebut pada umumnya adalah:
Laki-laki
Jam 06.00 – 10.00
Jam 06.00 – 12.00
Rp. 12.000, + rokok
Rp. 15.000, + rokok
Perempuan
Jam 06.00 – 10.00
Jam 06.00 – 12.00
Rp. 7.000,
Rp. 10.000,
Upah yang diperoleh antara petani laki-laki dan perempuan berbeda. Karena pertimbangan tenaga yang dimiliki oleh petani laki-laki dan perempuan berbeda yaitu lebih besar petani laki-laki. Upah yang diperoleh petani tersebut sangatlah kecil sehingga tidak mampu menutup biaya kehidupan petani dan kelurganya.
Suatu indeks yang membandingkan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yaitu yang disebut Indeks Nilai Tukar Petani menunjukkan bahwa bahwa dengan mendasarkan pada tahun dasar 2000, tahun 2006 menanam padi bagi petani di Jawa sama sekali tidak menguntungkan. Keadaan ini juga terjadi pada petani lainnya secara umum, di mana kehidupan petani di Jawa tidak dapat semata-mata ditopang dengan kegiatan pertanian. (sensus pertanian 2005/2006).
Oleh karena itu, keluarga petani yang ada di Jombang harusnya menggali potensi sumber daya manusia yang mereka miliki kemudian dapat disesuaikan dengan sumber daya alam yang ada di Jombang dan sekitarnya.
Fagi dan Partohardjono (2004) mengatakan ada lima strategi untuk meningkatkan pendapatan, yaitu: (1) Intensifikasi pola produksi, (2) Penganekaragaman produksi dan pengolahan hasil, (3) Perluasan tanaman atau lahan yang akan ditanami, (4) Peningkatan pendapatan dari luar pertanian, baik yang berbasis pertanian ataupun non pertanian, (5) Usaha luar sektor pertanian apabila potensi sumberdaya tidak prospektif
Lahan-lahan milik petani di Jombang banyak yang masih kosong dan sebagian ditanami pohon pisang, singkong, jarak dan sebagainya. Akan tetapi selama ini hasil tanaman tersebut hanya dijadikan sebagai tanaman tambahan saja dan hasilnya hanya dijual mentah, karena kurang mengertinya masyarakat tentang bagaimana cara mengolah atau meningkatkan nilai jual hasil alam tersebut.
Ada sebagian kecil masyarakat atau keluarga petani yang sudah mulai melakukan diversifikasi pertanian dan perkebunan, misalnya dengan memproduksi atau mengolah hasil tanaman yang banyak ditemui di Jombang yaitu pisang, singkong, pohon jarak dan sebagainya. Sebenarnya tidak telalu sulit untuk mengolah bahan mentah hasil alam menjadi bahan jadi (layak jual), asal ada kemauan dan kemampuan (skill) yang dimiliki oleh setiap orang.
Usaha untuk meningkatkan daya beli petani melalui diversifikasi (usaha pengembangan) sangat baik untuk diterapkan, khususnya dapat dijalankan oleh ibu-ibu rumah tangga. Jadi pendapatan keluarga tidak hanya ditopang dari hasil pertanian saja tapi juga berasal dari usaha lain yang dapat mendongkrak perekonomian keluarga petani. Akan tetapi masih sangat sedikit keluarga petani yang melakukan diversifikasi pertanian dan perkebunan dengan usaha mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi (siap jual) karena banyak masyarakat yang kurang mengerti bagaimana cara mengolah atau memproduksi bahan tersebut sehingga nilai jual barang tersebut menjadi lebih tinggi.
Keluarga petani kecil di Jombang kurang mengerti bagaimana cara mengolah hasil sumber daya alam lokal yang sebenarnya cukup potensial untuk dikembangkan karena kurang adanya perhatian lebih dari pemerintah. Pemerintah harusnya memberdayakan keluarga petani, khususnya petani kecil untuk lebih mengembangkan kemampuan di bidang lain yang sebenarnya lebih berpotensi untuk meningkatkan daya beli keluarga petani.
Daya beli keluarga petani kecil di Jombang akan semakin tinggi jika keluarga petani melakukan diversifikasi pertanian dan perkebunan atau pengembangan usaha dalam bidang pertanian ataupun perkebunan. Jadi pendapatan keluarga petani dapat terdongkrak (mendapat tambahan) dari hasil lain selain pertanian tanpa meninggalkan usahanya di bidang pertanian dan perkebunan, perwujudan diversifikasi itu diantaranya berupa:
1.       Pengolahan bahan dasar pisang dan singkong menjadi kripik pisang dan singkong. Hal ini bisa ditemukan di dusun Sucen desa Ngrandulor Kecamatan Peterongan. Survai yang dilakukan penulis menemukan, walaupun mayoritas penduduknya adalah petani kecil akan tetapi usaha pembuatan kripik singkong dan pisang dapat membantu menaikkan daya beli keluarga petani di kawasan tersebut menjadi lebih tinggi. Usaha yang dijalani di Sucen itu dikerjakan oleh ibu-ibu keluarga petani yang ada di dusun tersebut dan sekitarnya. Di Sucen ada 3 tempat pembuatan kripik pisang dan singkong. Perolehan mereka lebih tinggi dua kali lipat dibanding perolehan dari upah buruh tani, tanpa harus berpanas-panasan di bawah terik matahari. Karena setiap orang rata-rata mendapat Rp. 20.000, sampai dengan Rp. 25.000 perhari, sedangkan upah buruh tani hanya sebesar Rp. 7.000 sampai dengan Rp. 10.000.
2.       Budidaya pohon jarak yang kemudian bisa diolah menjadi bahan bakar minyak, terkadang juga dimanfaatkan daun dan getahnya sebagai obat atau ramuan untuk pengobatan. Biji-biji jarak pagar mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, yaitu dapat dijadikan bahan bakar untuk kendaraan dan mesin-mesin otomotif lainnya. Ini akibat terjadinya krisis energi tak terbarukan semacam bahan bakar minyak (BBM) yang melanda bangsa kita. Jadi, tanaman jarak pagar mulai dilirik untuk dijadikan alternatif bahan bakar. Dan yang terpenting, jarak pagar dapat diperbaharui, sehingga relatif lebih ‘abadi’ dan lebih bersahabat dengan lingkungan. Memperhatikan potensi tanaman jarak yang mudah tumbuh, dapat dikembangkan sebagai sumber bahan penghasil minyak bakar alternatif dan pada lahan kritis dapat memberikan harapan baru pengembangan agribisnis. Tanaman jarak tergolong tanaman yang mudah tumbuh Keuntungan yang diperoleh pada budidaya tanaman jarak di lahan kritis antara lain menunjang usaha konservasi lahan-lahan kritis, memberikan kesempatan kerja sehingga berimplikasi meingkatkan penghasilan kepada petani dan memberikan solusi pengadaan minyak bakar (Radar Mojokerto, 20 Agustus 2006).
Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan bantuan dan melakukan pemberdayaan keluarga petani yang ada di kabupaten Jombang. Misalkan dengan pelatihan ataupun pendampingan keluarga petani untuk membuka dan menjalankan usaha tambahan yang bisa mendongkrak perekonomian keluarga petani di Jombang agar daya beli keluarga petani kecil bisa lebih tinggi. Sebab masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat karena belum adanya varietas unggul, jumlah ketersediaan benih terbatas, teknik budidaya yang belum memadai dan sistem pemasaran serta harga yang belum ada standar.
Jadi pemerintah harus melakukan penekanan untuk pemerataan pemberdayaan keluarga petani kecil di Jombang dengan kebijakan-kebijakan dan kegiatan-kegiatan agar dapat mengurangi ketimpangan sosial yang sangat banyak menyengsarakan masyarakat, khususnya petani kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar