Pemikiran tentang involusi pertanian adalah merupakan
sejarah sosial ekonomi di Pulau Jawa yang secara sistematis menjelaskan
kesulitan-kesulitan pemerintah Indonesia ketika mulai lepas landas
kepertumbuhan ekonomi yang berlanjut atau lebih dikenal sebagai sustained economic growth (1983).
Involusi sendiri diambil dari istilah Antropologi yang
diperoleh dari Alexander Goldenweiser, yang dipakai untuk melukiskan pola
kebudayaan yang sudah mencapai bentuk yang pasti tidak berhasil
menstabilisasikannya atau mengubahnya menjadi suatu pola baru, tetapi
terus-menerus berkembang ke dalam sehingga semakin rumit.
Teori involusi dikemukaan oleh seorang tokoh terkemuka dalam
penelitian antropologi di Jawa, yakni Clifford Geertz. Dia menelurkan teori
involusi pertanian yang kemudian menjadi paradigma dominan dalam pengkajian
pedesaan jawa pada tahun 1960-an dan 1970-an. Involusi menurut Geertz:
Involusi pertanian dapat pula dikatakan sebagai kemandegan
ekonomi pertanian. Menurut Geertz kapitalisme Barat-lah membawa masyarakat Jawa
ke dalam suatu proses involusi pertanian. Penetrasi kapitalisme Barat terhadap
sistem pertanian Jawa di satu sisi membawa kemakmuran di Barat tapi di satu
sisi mengakibatkan proses “tinggal landas” berupa peningkatan jumlah penduduk
pedesaan. Kelebihan penduduk ini dapat diserap sawah melalui proses involusi,
yakni suatu kerumitan berlebihan yang semakin rinci yang memungkinkan tiap
orang tetap menerima bagian dari panen meskipun bagiannya menjadi semakin
kecil. Involusi pertanian menempatkan petani sebagai subyek yang pasif, statis,
tunduk kepada sistem yang menguasainya, dalam hal ini pemerintah kolonial,
sehingga selalu sibuk beradaptasi ke dalam (intern) untuk menjaga kelangsungan
sistem. Dalam perspektif ini, nilai-nilai budaya petani Jawa menjadi penting
sebagai orientasi. Involusi pertanian tak lain adalah produk dari kerja
kebudayaan petani Jawa.
Untuk mendukung pendapatnya, Geertz membandingkan ciri-ciri
ekologi dan demografi daerah penghasil tebu untuk pabrik gula dengan daerah
lain yang belum dimasuki pabrik gula. Geertz menyimpulkan bahwa sekitar tahun
1920 daerah gula secara proporsional memiliki: lebih banyak sawah, lebih banyak
penduduk, meski lebih banyak tanah sawahnya ditanami tebu, namun produksi
berasnya lebih besar daripada daerah bukan gula. Pertambahan jumlah penduduk
memaksa masyarakat bekerja di bidang pertanian karena perkembangan di sektor
non pertanian tidak mengimbangi pertumbuhan penduduk. Memang, ada usaha untuk
meningkatkan kesempatan kerja dengan perbaikan teknik pertanian
(intensifikasi), namun usaha itu tak lebih ibarat orang yang berjalan di
tempat. Dilihat dari hasil produksi beras yang dihasilkan dari tahun 1830-1940
nampak ada peningkatan, namun jika dilihat dari pendapat per kapita penduduk
kurang lebih tetap konstan.
Dengan mempertahankan sistem pemilikan komunal tanah
pedesaan, tanpa mengubah secara mendasar ciri ekonomi subsistensi pedesaan itu
dan dalam melestarikan kebersamaan kehidupan sosial-ekonomi pedesaan itu,
masyarakat Jawa akan tetap berada pada stagnansi ekonomi. Ciri-cirinya yaitu
kemiskinan di pedesaan yang tinggi, produktivitas pertanian stagnan, serta
perkembangan sektor pertanian cenderung menurun.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda membawa produk pertanian
dari Jawa yang subur ke pasar dunia, di mana produk-produk tersebut sangat
dibutuhkan dan laku, tanpa mengubah secara fundamental struktur ekonomi
pribumi. Namun, pemerintah kolonial tak pernah berhasil mengembangkan ekonomi
ekspor secara luas di pasar dunia sehingga kepentingan utama Pemerintah Belanda
tetaplah bertumpu pada koloninya: Hindia Belanda. Upaya pemerintah kolonial
untuk meraih pasar internasional adalah mempertahankan pribumi tetap pribumi,
dan terus mendorong mereka untuk berproduksi bagi memenuhi kebutuhan pasar
dunia. Keadaan ini mewujudkan struktur ekonomi yang secara intrinsik tidak
seimbang, yang oleh JH Boeke (1958) disebut dualisme ekonomi.
Pada sektor lokal, ada satuan pertanian keluarga, industri
rumah tangga, dan perdagangan kecil. Kalau pada sektor ekspor terjadi peningkatan
yang dipicu oleh harga komoditas dunia, maka sektor domestik justru mengalami
kemerosotan dan kemunduran. Tanah dan petani semakin terserap ke sektor
pertanian komersial yang dibutuhkan Pemerintah Hindia Belanda untuk perdagangan
dunia. Akibatnya adalah semakin meningkatnya populasi petani yang berupaya
melakukan kompensasi penghasilan uang -hal ini semakin dimantapkan menjadi
kebiasaan- dengan intensifikasi produksi pertanian subsisten. Proses pemiskinan
di pedesaan Jawa dijelaskan Geertz dalam konteks ini. Kemiskinan di Jawa adalah
produk interaksi antara penduduk pribumi (petani di Jawa) dan struktur kolonial
pada tingkat nasional dalam konteks politik-ekonomi. Adapun keterkaitan proses
pemiskinan dan involusi pertanian di Jawa, dijelaskan Geertz sebagai suatu pola
kebudayaan yang memiliki suatu bentuk yang definitif, yang terus berkembang
menjadi semakin rumit ke dalam. Pertanian dan petani Jawa secara khusus,
dan kehidupan sosial orang Jawa secara umum, harus bertahan untuk menghadapi
realita meningkatnya jumlah penduduk dan tekanan kolonial.
Difersivikasi adalah perluasan dari suatu produk
yang diusahakan selama ini ke produk atau industri baru yang sebelumnya tidak
diusahakan. Ini dilakuakan untuk meminimkan resiko, untuk menghindari akibat
buruk dari fluktuasi ekonomi.
Dalam pertanian dan perkebunan difersivikasi
dikatakan sebagai pergeseran sumberdaya dari satu tanaman menjadi campur
tanaman, untuk mengurangi kegagalan resiko alam dan meningkatkan hasil dari
tiap komoditas yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani. Definisi
tersebut menekankan pentingnya perubahan sumberdaya bernilai rendah, yang
sering direfleksikan sebagai peningkatan tingkat spesialisasi ke dalam
aktifitas yang bernilai tinggi.
Kasryno (2004), dilihat dari segi ekonomi,
difersivikasi bertujuan memperkecil resiko yang disebabkan oleh dinamika harga
dan faktor ekonomi lainnya serta perubahan iklim. Difersivikasi berpeluang
meningkatkan pemanfaatan sumberdaya manusia, peningkatan sumberdaya manusia,
peningkatan kesempatan kerja dan kesempatan perusahaan serta pemanfaatan
sumberdaya alam. Dari segi budidaya, difersivikasi memperkecil pengaruh iklim.
Menurut Hayami dan Otsuka (1992), Berdasarkan
definisi di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan: (a) Pergeseran sumberdaya dari
kenyataan usaha tani ke non usaha tani, (b) Penggunaan sumberdaya dalam skala
besar berupa campuran tani berbagai komoditas dan kegiatan yang menunjangnya,
(c) Perubahan sumberdaya dari komoditas pertanian bernilai rendah ke komoditasa
pertanian bernilai tinggi.
Alasan masyarakat perlu melakukan difersivikasi karena :
a. Memaksimalkan efisiensi penggunaan sumberdaya, terutama efisiensi
penggunaan lahan dan waktu, simbiosis dalam usaha dan intensifikasi penggunaan
tenaga kerja.
b. Mengurangi resiko produksi, harga dan pendapatan.
c. Merespon perubahan permintaan.
d. Mempertahankan kesuburan lahan.
Contoh
nyata adalah keadaan petani yang ada di Jombang mayoritas adalah petani kecil
yaitu petani yang memiliki lahan kurang dari 5 hektar (<5 ha). Selain itu
banyak juga yang hanya menjadi buruh tani yang pendapatannya juga lebih sedikit
dari petani kecil. Rata-rata di Jombang Pendapatan petani merupakan
satu-satunya pendapatan yang akan diperoleh petani dan keluarganya untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya. Jadi, usaha pertanian merupakan usaha tunggal
yang dijalani oleh sebagian besar keluarga petani di Jombang.
Daya beli keluarga petani kecil sangatlah rendah, karena
pendapatan yang diperoleh petani dari hasil pertanian sangatlah sedikit dan
kurang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarganya. Jadi, sebenarnya
keluarga petani harus mempunyai pemikiran dan aktivitas lain yang bisa
mendongkrak atau menaikkan daya beli keluarga petani menjadi lebih tinggi,
sehingga keluarga petani mempunyai pemasukan yang lebih tinggi dari pada
pengeluaran yang mereka butuhkan dalam memenuhi kebutuhannya.
Keluarga petani kecil yang ada di Jombang merupakan salah
satu keluarga yang kurang sejahtera. Hal ini disebabkan harga jual padi (gabah)
adalah Rp. 1.600/kg, sampai dengan Rp. 1.800/kg. Ini jauh dari Harga Pembelian
Pemerintah (HPP) yang ditetapkan sebesar Rp 2.000. Harga tersebut cukup
memberatkan keluarga petani sebab biaya produksi ternyata lebih besar dari pada
pendapatan atau harga jual.
Pendapatan utama petani kecil selama menunggu panen padi
dengan tenggang sekitar 4 bulan adalah menjadi buruh tani di lahan-lahan
pertanian milik petani lain. Biasanya jam kerja mulai jam 06.00 WIB sampai
dengan jam 10.00 WIB atau sampai dengan jam 12.00 WIB. Perolehan atau upah yang
diperoleh oleh petani tersebut pada umumnya adalah:
Laki-laki
|
Jam 06.00 –
10.00
Jam 06.00 –
12.00
|
Rp. 12.000, + rokok
Rp. 15.000, + rokok
|
Perempuan
|
Jam 06.00 –
10.00
Jam 06.00 –
12.00
|
Rp. 7.000,
Rp. 10.000,
|
Upah yang diperoleh antara petani laki-laki dan perempuan
berbeda. Karena pertimbangan tenaga yang dimiliki oleh petani laki-laki dan
perempuan berbeda yaitu lebih besar petani laki-laki. Upah yang diperoleh
petani tersebut sangatlah kecil sehingga tidak mampu menutup biaya kehidupan
petani dan kelurganya.
Suatu indeks yang membandingkan antara indeks harga yang
diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yaitu yang disebut
Indeks Nilai Tukar Petani menunjukkan bahwa bahwa dengan mendasarkan pada tahun
dasar 2000, tahun 2006 menanam padi bagi petani di Jawa sama sekali tidak
menguntungkan. Keadaan ini juga terjadi pada petani lainnya secara umum, di
mana kehidupan petani di Jawa tidak dapat semata-mata ditopang dengan kegiatan
pertanian. (sensus pertanian 2005/2006).
Oleh karena itu, keluarga petani yang ada di Jombang
harusnya menggali potensi sumber daya manusia yang mereka miliki kemudian dapat
disesuaikan dengan sumber daya alam yang ada di Jombang dan sekitarnya.
Fagi dan Partohardjono (2004) mengatakan ada lima
strategi untuk meningkatkan pendapatan, yaitu: (1) Intensifikasi pola produksi,
(2) Penganekaragaman produksi dan pengolahan hasil, (3) Perluasan tanaman atau
lahan yang akan ditanami, (4) Peningkatan pendapatan dari luar pertanian, baik
yang berbasis pertanian ataupun non pertanian, (5) Usaha luar sektor pertanian
apabila potensi sumberdaya tidak prospektif
Lahan-lahan milik petani di Jombang banyak yang masih
kosong dan sebagian ditanami pohon pisang, singkong, jarak dan sebagainya. Akan
tetapi selama ini hasil tanaman tersebut hanya dijadikan sebagai tanaman
tambahan saja dan hasilnya hanya dijual mentah, karena kurang mengertinya
masyarakat tentang bagaimana cara mengolah atau meningkatkan nilai jual hasil
alam tersebut.
Ada sebagian kecil masyarakat atau keluarga petani yang
sudah mulai melakukan diversifikasi pertanian dan perkebunan, misalnya dengan
memproduksi atau mengolah hasil tanaman yang banyak ditemui di Jombang yaitu
pisang, singkong, pohon jarak dan sebagainya. Sebenarnya tidak telalu sulit
untuk mengolah bahan mentah hasil alam menjadi bahan jadi (layak jual), asal
ada kemauan dan kemampuan (skill) yang dimiliki oleh setiap orang.
Usaha untuk meningkatkan daya beli petani melalui
diversifikasi (usaha pengembangan) sangat baik untuk diterapkan, khususnya
dapat dijalankan oleh ibu-ibu rumah tangga. Jadi pendapatan keluarga tidak
hanya ditopang dari hasil pertanian saja tapi juga berasal dari usaha lain yang
dapat mendongkrak perekonomian keluarga petani. Akan tetapi masih sangat
sedikit keluarga petani yang melakukan diversifikasi pertanian dan perkebunan
dengan usaha mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi (siap jual) karena banyak
masyarakat yang kurang mengerti bagaimana cara mengolah atau memproduksi bahan
tersebut sehingga nilai jual barang tersebut menjadi lebih tinggi.
Keluarga petani kecil di Jombang kurang mengerti
bagaimana cara mengolah hasil sumber daya alam lokal yang sebenarnya cukup
potensial untuk dikembangkan karena kurang adanya perhatian lebih dari pemerintah.
Pemerintah harusnya memberdayakan keluarga petani, khususnya petani kecil untuk
lebih mengembangkan kemampuan di bidang lain yang sebenarnya lebih berpotensi
untuk meningkatkan daya beli keluarga petani.
Daya beli keluarga petani kecil di Jombang akan semakin
tinggi jika keluarga petani melakukan diversifikasi pertanian dan perkebunan
atau pengembangan usaha dalam bidang pertanian ataupun perkebunan. Jadi
pendapatan keluarga petani dapat terdongkrak (mendapat tambahan) dari hasil
lain selain pertanian tanpa meninggalkan usahanya di bidang pertanian dan
perkebunan, perwujudan diversifikasi itu diantaranya berupa:
1. Pengolahan
bahan dasar pisang dan singkong menjadi kripik pisang dan singkong. Hal ini
bisa ditemukan di dusun Sucen desa Ngrandulor Kecamatan Peterongan. Survai yang
dilakukan penulis menemukan, walaupun mayoritas penduduknya adalah petani kecil
akan tetapi usaha pembuatan kripik singkong dan pisang dapat membantu menaikkan
daya beli keluarga petani di kawasan tersebut menjadi lebih tinggi. Usaha yang
dijalani di Sucen itu dikerjakan oleh ibu-ibu keluarga petani yang ada di dusun
tersebut dan sekitarnya. Di Sucen ada 3 tempat pembuatan kripik pisang dan
singkong. Perolehan mereka lebih tinggi dua kali lipat dibanding perolehan dari
upah buruh tani, tanpa harus berpanas-panasan di bawah terik matahari. Karena
setiap orang rata-rata mendapat Rp. 20.000, sampai dengan Rp. 25.000 perhari,
sedangkan upah buruh tani hanya sebesar Rp. 7.000 sampai dengan Rp. 10.000.
2. Budidaya pohon
jarak yang kemudian bisa diolah menjadi bahan bakar minyak, terkadang juga
dimanfaatkan daun dan getahnya sebagai obat atau ramuan untuk pengobatan.
Biji-biji jarak pagar mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, yaitu dapat
dijadikan bahan bakar untuk kendaraan dan mesin-mesin otomotif lainnya. Ini akibat
terjadinya krisis energi tak terbarukan semacam bahan bakar minyak (BBM) yang
melanda bangsa kita. Jadi, tanaman jarak pagar mulai dilirik untuk dijadikan
alternatif bahan bakar. Dan yang terpenting, jarak pagar dapat diperbaharui,
sehingga relatif lebih ‘abadi’ dan lebih bersahabat dengan lingkungan.
Memperhatikan potensi tanaman jarak yang mudah tumbuh, dapat dikembangkan
sebagai sumber bahan penghasil minyak bakar alternatif dan pada lahan kritis
dapat memberikan harapan baru pengembangan agribisnis. Tanaman jarak
tergolong tanaman yang mudah tumbuh Keuntungan yang diperoleh pada budidaya
tanaman jarak di lahan kritis antara lain menunjang usaha konservasi
lahan-lahan kritis, memberikan kesempatan kerja sehingga berimplikasi
meingkatkan penghasilan kepada petani dan memberikan solusi pengadaan minyak
bakar (Radar Mojokerto, 20 Agustus 2006).
Oleh karena itu, pemerintah harus
memberikan bantuan dan melakukan pemberdayaan keluarga petani yang ada di
kabupaten Jombang. Misalkan dengan pelatihan ataupun pendampingan keluarga
petani untuk membuka dan menjalankan usaha tambahan yang bisa mendongkrak
perekonomian keluarga petani di Jombang agar daya beli keluarga petani kecil
bisa lebih tinggi. Sebab masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat karena belum adanya varietas unggul, jumlah ketersediaan benih
terbatas, teknik budidaya yang belum memadai dan sistem pemasaran serta harga
yang belum ada standar.
Jadi pemerintah harus melakukan penekanan untuk
pemerataan pemberdayaan keluarga petani kecil di Jombang dengan
kebijakan-kebijakan dan kegiatan-kegiatan agar dapat mengurangi ketimpangan
sosial yang sangat banyak menyengsarakan masyarakat, khususnya petani kecil.