Jumat, 01 Januari 2016

Involusi Pertanian



Pemikiran tentang involusi pertanian adalah merupakan sejarah sosial ekonomi di Pulau Jawa yang secara sistematis menjelaskan kesulitan-kesulitan pemerintah Indonesia ketika mulai lepas landas kepertumbuhan ekonomi yang berlanjut atau lebih dikenal sebagai sustained economic growth (1983).
Involusi sendiri diambil dari istilah Antropologi yang diperoleh dari Alexander Goldenweiser, yang dipakai untuk melukiskan pola kebudayaan yang sudah mencapai bentuk yang pasti tidak berhasil menstabilisasikannya atau mengubahnya menjadi suatu pola baru, tetapi terus-menerus berkembang ke dalam sehingga semakin rumit.
Teori involusi dikemukaan oleh seorang tokoh terkemuka dalam penelitian antropologi di Jawa, yakni Clifford Geertz. Dia menelurkan teori involusi pertanian yang kemudian menjadi paradigma dominan dalam pengkajian pedesaan jawa pada tahun 1960-an dan 1970-an. Involusi menurut Geertz:
Involusi pertanian dapat pula dikatakan sebagai kemandegan ekonomi pertanian. Menurut Geertz kapitalisme Barat-lah membawa masyarakat Jawa ke dalam suatu proses involusi pertanian. Penetrasi kapitalisme Barat terhadap sistem pertanian Jawa di satu sisi membawa kemakmuran di Barat tapi di satu sisi mengakibatkan proses “tinggal landas” berupa peningkatan jumlah penduduk pedesaan. Kelebihan penduduk ini dapat diserap sawah melalui proses involusi, yakni suatu kerumitan berlebihan yang semakin rinci yang memungkinkan tiap orang tetap menerima bagian dari panen meskipun bagiannya menjadi semakin kecil. Involusi pertanian menempatkan petani sebagai subyek yang pasif, statis, tunduk kepada sistem yang menguasainya, dalam hal ini pemerintah kolonial, sehingga selalu sibuk beradaptasi ke dalam (intern) untuk menjaga kelangsungan sistem. Dalam perspektif ini, nilai-nilai budaya petani Jawa menjadi penting sebagai orientasi. Involusi pertanian tak lain adalah produk dari kerja kebudayaan petani Jawa.
Untuk mendukung pendapatnya, Geertz membandingkan ciri-ciri ekologi dan demografi daerah penghasil tebu untuk pabrik gula dengan daerah lain yang belum dimasuki pabrik gula. Geertz menyimpulkan bahwa sekitar tahun 1920 daerah gula secara proporsional memiliki: lebih banyak sawah, lebih banyak penduduk, meski lebih banyak tanah sawahnya ditanami tebu, namun produksi berasnya lebih besar daripada daerah bukan gula. Pertambahan jumlah penduduk memaksa masyarakat bekerja di bidang pertanian karena perkembangan di sektor non pertanian tidak mengimbangi pertumbuhan penduduk. Memang, ada usaha untuk meningkatkan kesempatan kerja dengan perbaikan teknik pertanian (intensifikasi), namun usaha itu tak lebih ibarat orang yang berjalan di tempat. Dilihat dari hasil produksi beras yang dihasilkan dari tahun 1830-1940 nampak ada peningkatan, namun jika dilihat dari pendapat per kapita penduduk kurang lebih tetap konstan.
Dengan mempertahankan sistem pemilikan komunal tanah pedesaan, tanpa mengubah secara mendasar ciri ekonomi subsistensi pedesaan itu dan dalam melestarikan kebersamaan kehidupan sosial-ekonomi pedesaan itu, masyarakat Jawa akan tetap berada pada stagnansi ekonomi. Ciri-cirinya yaitu kemiskinan di pedesaan yang tinggi, produktivitas pertanian stagnan, serta perkembangan sektor pertanian cenderung menurun.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda membawa produk pertanian dari Jawa yang subur ke pasar dunia, di mana produk-produk tersebut sangat dibutuhkan dan laku, tanpa mengubah secara fundamental struktur ekonomi pribumi. Namun, pemerintah kolonial tak pernah berhasil mengembangkan ekonomi ekspor secara luas di pasar dunia sehingga kepentingan utama Pemerintah Belanda tetaplah bertumpu pada koloninya: Hindia Belanda. Upaya pemerintah kolonial untuk meraih pasar internasional adalah mempertahankan pribumi tetap pribumi, dan terus mendorong mereka untuk berproduksi bagi memenuhi kebutuhan pasar dunia. Keadaan ini mewujudkan struktur ekonomi yang secara intrinsik tidak seimbang, yang oleh JH Boeke (1958) disebut dualisme ekonomi.
Pada sektor lokal, ada satuan pertanian keluarga, industri rumah tangga, dan perdagangan kecil. Kalau pada sektor ekspor terjadi peningkatan yang dipicu oleh harga komoditas dunia, maka sektor domestik justru mengalami kemerosotan dan kemunduran. Tanah dan petani semakin terserap ke sektor pertanian komersial yang dibutuhkan Pemerintah Hindia Belanda untuk perdagangan dunia. Akibatnya adalah semakin meningkatnya populasi petani yang berupaya melakukan kompensasi penghasilan uang -hal ini semakin dimantapkan menjadi kebiasaan- dengan intensifikasi produksi pertanian subsisten. Proses pemiskinan di pedesaan Jawa dijelaskan Geertz dalam konteks ini. Kemiskinan di Jawa adalah produk interaksi antara penduduk pribumi (petani di Jawa) dan struktur kolonial pada tingkat nasional dalam konteks politik-ekonomi. Adapun keterkaitan proses pemiskinan dan involusi pertanian di Jawa, dijelaskan Geertz sebagai suatu pola kebudayaan yang memiliki suatu bentuk yang definitif, yang terus berkembang menjadi semakin rumit ke dalam. Pertanian  dan petani Jawa secara khusus, dan kehidupan sosial orang Jawa secara umum, harus bertahan untuk menghadapi realita meningkatnya jumlah penduduk dan tekanan kolonial.
Difersivikasi adalah perluasan dari suatu produk yang diusahakan selama ini ke produk atau industri baru yang sebelumnya tidak diusahakan. Ini dilakuakan untuk meminimkan resiko, untuk menghindari akibat buruk dari fluktuasi ekonomi.
Dalam pertanian dan perkebunan difersivikasi dikatakan sebagai pergeseran sumberdaya dari satu tanaman menjadi campur tanaman, untuk mengurangi kegagalan resiko alam dan meningkatkan hasil dari tiap komoditas yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani. Definisi tersebut menekankan pentingnya perubahan sumberdaya bernilai rendah, yang sering direfleksikan sebagai peningkatan tingkat spesialisasi ke dalam aktifitas yang bernilai tinggi.
Kasryno (2004), dilihat dari segi ekonomi, difersivikasi bertujuan memperkecil resiko yang disebabkan oleh dinamika harga dan faktor ekonomi lainnya serta perubahan iklim. Difersivikasi berpeluang meningkatkan pemanfaatan sumberdaya manusia, peningkatan sumberdaya manusia, peningkatan kesempatan kerja dan kesempatan perusahaan serta pemanfaatan sumberdaya alam. Dari segi budidaya, difersivikasi memperkecil pengaruh iklim.
Menurut Hayami dan Otsuka (1992), Berdasarkan definisi di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan: (a) Pergeseran sumberdaya dari kenyataan usaha tani ke non usaha tani, (b) Penggunaan sumberdaya dalam skala besar berupa campuran tani berbagai komoditas dan kegiatan yang menunjangnya, (c) Perubahan sumberdaya dari komoditas pertanian bernilai rendah ke komoditasa pertanian bernilai tinggi.
Alasan masyarakat perlu melakukan difersivikasi karena :
a. Memaksimalkan efisiensi penggunaan sumberdaya, terutama efisiensi penggunaan lahan dan waktu, simbiosis dalam usaha dan intensifikasi penggunaan tenaga kerja.
b. Mengurangi resiko produksi, harga dan pendapatan.
c. Merespon perubahan permintaan.
d. Mempertahankan kesuburan lahan.
Contoh nyata adalah keadaan petani yang ada di Jombang mayoritas adalah petani kecil yaitu petani yang memiliki lahan kurang dari 5 hektar (<5 ha). Selain itu banyak juga yang hanya menjadi buruh tani yang pendapatannya juga lebih sedikit dari petani kecil. Rata-rata di Jombang Pendapatan petani merupakan satu-satunya pendapatan yang akan diperoleh petani dan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Jadi, usaha pertanian merupakan usaha tunggal yang dijalani oleh sebagian besar keluarga petani di Jombang.
Daya beli keluarga petani kecil sangatlah rendah, karena pendapatan yang diperoleh petani dari hasil pertanian sangatlah sedikit dan kurang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarganya. Jadi, sebenarnya keluarga petani harus mempunyai pemikiran dan aktivitas lain yang bisa mendongkrak atau menaikkan daya beli keluarga petani menjadi lebih tinggi, sehingga keluarga petani mempunyai pemasukan yang lebih tinggi dari pada pengeluaran yang mereka butuhkan dalam memenuhi kebutuhannya.
Keluarga petani kecil yang ada di Jombang merupakan salah satu keluarga yang kurang sejahtera. Hal ini disebabkan harga jual padi (gabah) adalah Rp. 1.600/kg, sampai dengan Rp. 1.800/kg. Ini jauh dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan sebesar Rp 2.000. Harga tersebut cukup memberatkan keluarga petani sebab biaya produksi ternyata lebih besar dari pada pendapatan atau harga jual.
Pendapatan utama petani kecil selama menunggu panen padi dengan tenggang sekitar 4 bulan adalah menjadi buruh tani di lahan-lahan pertanian milik petani lain. Biasanya jam kerja mulai jam 06.00 WIB sampai dengan jam 10.00 WIB atau sampai dengan jam 12.00 WIB. Perolehan atau upah yang diperoleh oleh petani tersebut pada umumnya adalah:
Laki-laki
Jam 06.00 – 10.00
Jam 06.00 – 12.00
Rp. 12.000, + rokok
Rp. 15.000, + rokok
Perempuan
Jam 06.00 – 10.00
Jam 06.00 – 12.00
Rp. 7.000,
Rp. 10.000,
Upah yang diperoleh antara petani laki-laki dan perempuan berbeda. Karena pertimbangan tenaga yang dimiliki oleh petani laki-laki dan perempuan berbeda yaitu lebih besar petani laki-laki. Upah yang diperoleh petani tersebut sangatlah kecil sehingga tidak mampu menutup biaya kehidupan petani dan kelurganya.
Suatu indeks yang membandingkan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yaitu yang disebut Indeks Nilai Tukar Petani menunjukkan bahwa bahwa dengan mendasarkan pada tahun dasar 2000, tahun 2006 menanam padi bagi petani di Jawa sama sekali tidak menguntungkan. Keadaan ini juga terjadi pada petani lainnya secara umum, di mana kehidupan petani di Jawa tidak dapat semata-mata ditopang dengan kegiatan pertanian. (sensus pertanian 2005/2006).
Oleh karena itu, keluarga petani yang ada di Jombang harusnya menggali potensi sumber daya manusia yang mereka miliki kemudian dapat disesuaikan dengan sumber daya alam yang ada di Jombang dan sekitarnya.
Fagi dan Partohardjono (2004) mengatakan ada lima strategi untuk meningkatkan pendapatan, yaitu: (1) Intensifikasi pola produksi, (2) Penganekaragaman produksi dan pengolahan hasil, (3) Perluasan tanaman atau lahan yang akan ditanami, (4) Peningkatan pendapatan dari luar pertanian, baik yang berbasis pertanian ataupun non pertanian, (5) Usaha luar sektor pertanian apabila potensi sumberdaya tidak prospektif
Lahan-lahan milik petani di Jombang banyak yang masih kosong dan sebagian ditanami pohon pisang, singkong, jarak dan sebagainya. Akan tetapi selama ini hasil tanaman tersebut hanya dijadikan sebagai tanaman tambahan saja dan hasilnya hanya dijual mentah, karena kurang mengertinya masyarakat tentang bagaimana cara mengolah atau meningkatkan nilai jual hasil alam tersebut.
Ada sebagian kecil masyarakat atau keluarga petani yang sudah mulai melakukan diversifikasi pertanian dan perkebunan, misalnya dengan memproduksi atau mengolah hasil tanaman yang banyak ditemui di Jombang yaitu pisang, singkong, pohon jarak dan sebagainya. Sebenarnya tidak telalu sulit untuk mengolah bahan mentah hasil alam menjadi bahan jadi (layak jual), asal ada kemauan dan kemampuan (skill) yang dimiliki oleh setiap orang.
Usaha untuk meningkatkan daya beli petani melalui diversifikasi (usaha pengembangan) sangat baik untuk diterapkan, khususnya dapat dijalankan oleh ibu-ibu rumah tangga. Jadi pendapatan keluarga tidak hanya ditopang dari hasil pertanian saja tapi juga berasal dari usaha lain yang dapat mendongkrak perekonomian keluarga petani. Akan tetapi masih sangat sedikit keluarga petani yang melakukan diversifikasi pertanian dan perkebunan dengan usaha mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi (siap jual) karena banyak masyarakat yang kurang mengerti bagaimana cara mengolah atau memproduksi bahan tersebut sehingga nilai jual barang tersebut menjadi lebih tinggi.
Keluarga petani kecil di Jombang kurang mengerti bagaimana cara mengolah hasil sumber daya alam lokal yang sebenarnya cukup potensial untuk dikembangkan karena kurang adanya perhatian lebih dari pemerintah. Pemerintah harusnya memberdayakan keluarga petani, khususnya petani kecil untuk lebih mengembangkan kemampuan di bidang lain yang sebenarnya lebih berpotensi untuk meningkatkan daya beli keluarga petani.
Daya beli keluarga petani kecil di Jombang akan semakin tinggi jika keluarga petani melakukan diversifikasi pertanian dan perkebunan atau pengembangan usaha dalam bidang pertanian ataupun perkebunan. Jadi pendapatan keluarga petani dapat terdongkrak (mendapat tambahan) dari hasil lain selain pertanian tanpa meninggalkan usahanya di bidang pertanian dan perkebunan, perwujudan diversifikasi itu diantaranya berupa:
1.       Pengolahan bahan dasar pisang dan singkong menjadi kripik pisang dan singkong. Hal ini bisa ditemukan di dusun Sucen desa Ngrandulor Kecamatan Peterongan. Survai yang dilakukan penulis menemukan, walaupun mayoritas penduduknya adalah petani kecil akan tetapi usaha pembuatan kripik singkong dan pisang dapat membantu menaikkan daya beli keluarga petani di kawasan tersebut menjadi lebih tinggi. Usaha yang dijalani di Sucen itu dikerjakan oleh ibu-ibu keluarga petani yang ada di dusun tersebut dan sekitarnya. Di Sucen ada 3 tempat pembuatan kripik pisang dan singkong. Perolehan mereka lebih tinggi dua kali lipat dibanding perolehan dari upah buruh tani, tanpa harus berpanas-panasan di bawah terik matahari. Karena setiap orang rata-rata mendapat Rp. 20.000, sampai dengan Rp. 25.000 perhari, sedangkan upah buruh tani hanya sebesar Rp. 7.000 sampai dengan Rp. 10.000.
2.       Budidaya pohon jarak yang kemudian bisa diolah menjadi bahan bakar minyak, terkadang juga dimanfaatkan daun dan getahnya sebagai obat atau ramuan untuk pengobatan. Biji-biji jarak pagar mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, yaitu dapat dijadikan bahan bakar untuk kendaraan dan mesin-mesin otomotif lainnya. Ini akibat terjadinya krisis energi tak terbarukan semacam bahan bakar minyak (BBM) yang melanda bangsa kita. Jadi, tanaman jarak pagar mulai dilirik untuk dijadikan alternatif bahan bakar. Dan yang terpenting, jarak pagar dapat diperbaharui, sehingga relatif lebih ‘abadi’ dan lebih bersahabat dengan lingkungan. Memperhatikan potensi tanaman jarak yang mudah tumbuh, dapat dikembangkan sebagai sumber bahan penghasil minyak bakar alternatif dan pada lahan kritis dapat memberikan harapan baru pengembangan agribisnis. Tanaman jarak tergolong tanaman yang mudah tumbuh Keuntungan yang diperoleh pada budidaya tanaman jarak di lahan kritis antara lain menunjang usaha konservasi lahan-lahan kritis, memberikan kesempatan kerja sehingga berimplikasi meingkatkan penghasilan kepada petani dan memberikan solusi pengadaan minyak bakar (Radar Mojokerto, 20 Agustus 2006).
Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan bantuan dan melakukan pemberdayaan keluarga petani yang ada di kabupaten Jombang. Misalkan dengan pelatihan ataupun pendampingan keluarga petani untuk membuka dan menjalankan usaha tambahan yang bisa mendongkrak perekonomian keluarga petani di Jombang agar daya beli keluarga petani kecil bisa lebih tinggi. Sebab masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat karena belum adanya varietas unggul, jumlah ketersediaan benih terbatas, teknik budidaya yang belum memadai dan sistem pemasaran serta harga yang belum ada standar.
Jadi pemerintah harus melakukan penekanan untuk pemerataan pemberdayaan keluarga petani kecil di Jombang dengan kebijakan-kebijakan dan kegiatan-kegiatan agar dapat mengurangi ketimpangan sosial yang sangat banyak menyengsarakan masyarakat, khususnya petani kecil.

Pranoto Mongso



A.    Pengertian Pranoto Mongso
Pranoto Mongso artinya Aturan Musim. Pranoto Mongso adalah salah satu pengetahuan kuno yang didasarkan pada penanggalan Jawa. Pranoto Mongso membagi satu tahun menjadi 12 bagian sesuai musim, dan banyak digunakan terutama untuk pertanian. Tidaklah mengherankan jika sejak dulu kala Pulau Jawa merupakan pusat kehidupan di Kepulauan Nusantara. Dan penanggalan Pranotomongso ini didasarkan pada penanggalan Syamsiyah. Dengan rumit dan detailnya perhitungan untuk pertanian ini, membuat pertanian di Pulau Jawa maju pesat karena dengan tepat menyesuaikan penanaman komoditas pertanian tertentu dengan menerapkan prinsip Pranoto Mongso ini. 
Pranoto Mongso semacam penanggalan yang dikaitkan dengan kegiatan usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan. Pranoto Mongso berbasis peredaran matahari dan siklusnya (setahun) berumur 365 hari (atau 366 hari) serta memuat berbagai aspek fenologi dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan usaha tani maupun persiapan diri menghadapi bencana (kekeringan, wabah penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada waktu-waktu tertentu.
Pranoto Mongso dalam versi pengetahuan yang dipegang petani atau nelayan diwariskan secara oral (dari mulut ke mulut). Selain itu, ia bersifat lokal dan temporal (dibatasi oleh tempat dan waktu) sehingga suatu perincian yang dibuat untuk suatu tempat tidak sepenuhnya berlaku untuk tempat lain. Petani, umpamanya, menggunakan pedoman pranoto mongso untuk menentukan awal masa tanam. Nelayan menggunakannya sebagai pedoman untuk melaut atau memprediksi jenis tangkapan.
Sedangkan Pranoto mongso dalam versi Kasunanan yang berlaku untuk wilayah di antara Gunung Merapi dan Gunung Lawu. Setahun menurut penanggalan ini dibagi menjadi empat musim (mangsa) utama, yaitu musim kemarau atau ketigå (88 hari), musim pancaroba menjelang hujan atau labuh (95 hari), musim hujan atau dalam bahasa Jawa disebut rendheng (95 hari) , dan pancaroba akhir musim hujan atau marèng (86 hari).
Musim dapat dikaitkan pula dengan perilaku hewan, perkembangan tumbuhan, situasi alam sekitar, dan dalam praktek amat berkaitan dengan kultur agraris. Berdasarkan ciri-ciri ini setahun juga dapat dibagi menjadi empat musim utama dan dua musim "kecil": terang ("langit cerah", 82 hari), semplah ("penderitaan", 99 hari) dengan mangsa kecil paceklik pada 23 hari pertama, udan ("musim hujan", 86 hari), dan pangarep-arep ("penuh harap", 98/99 hari) dengan mangsa kecil panèn pada 23 hari terakhir.
B.     Sejarah Pranoto Mongso
Pranoto mongso diperkenalkan pada masa Sunan Pakubuwana VII (raja Surakarta) dan mulai dipakai sejak 22 Juni 1856, dimaksudkan sebagai pedoman bagi para petani pada masa itu.  Perlu disadari bahwa penanaman padi pada waktu itu hanya berlangsung sekali setahun, diikuti oleh palawija atau padi gogo. Selain itu, pranoto mongso pada masa itu dimaksudkan sebagai petunjuk bagi pihak-pihak terkait untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana alam, mengingat teknologi prakiraan cuaca belum dikenal. Pranoto mongso dalam bentuk "kumpulan pengetahuan" lisan tersebut hingga kini masih diterapkan oleh sekelompok orang dan sedikit banyak merupakan pengamatan terhadap gejala-gejala alam.
Terdapat petunjuk bahwa masyarakat Jawa, khususnya yang bermukim di wilayah sekitar Gunung Merapi, Gunung Merbabu, sampai Gunung Lawu, telah mengenal prinsip-prinsip pranoto mongso jauh sebelum kedatangan pengaruh dari India. Prinsip-prinsip ini berbasis peredaran matahari di langit dan peredaran rasi bintang Waluku (Orion). Di wilayah ini, penduduknya menerapkan penanggalan berbasis peredaran matahari dan rasi bintang sebagai bagian dari keselarasan hidup mengikuti perubahan irama alam dalam setahun. Pengetahuan ini dapat diperkirakan telah diwariskan secara turun-temurun sejak periode Kerajaan Medang (Mataram Hindu) dari abad ke-9 sampai dengan periode Kesultanan Mataram di abad ke-17 sebagai panduan dalam bidang pertanian, ekonomi, administrasi, dan pertahanan (kemiliteran).
Perubahan teknologi yang diterapkan di Jawa semenjak 1970-an, berupa paket intensifikasi pertanian seperti penggunaan pupuk kimia, kultivar berumur genjah (dapat dipanen pada umur 120 hari atau kurang, sebelumnya memakan waktu hingga 180 hari), meluasnya jaringan irigasi melalui berbagai bendungan atau bendung, dan terutama berkembang pesatnya teknik prakiraan cuaca telah menyebabkan pranoto mongso (versi Kasunanan) kehilangan banyak relevansi. Isu perubahan iklim global yang semakin menguat semenjak 1990-an juga membuat pranoto mongso harus ditinjau kembali karena dianggap "tidak lagi dapat dibaca".
C.    Penanggalan Pranoto Mongso
Pada tahun 1855 M, karena penanggalan bulan dianggap tidak memadai sebagai patokan para petani untuk bertanam, maka bulan-bulan musim atau bulan-bulan matahari yang disebut sebagai pranata mangsa diperbaharui oleh Sri Paduka Mangkunegara IV. Penanggalan yang telah diperbaharui tersebut ditetapkan secara resmi dengan nama-nama pranata mangsa tersebut sebagai berikut :
Tabel 2.3 Daur kalender baku Pranata Mangsa
No.
Hamaning Mangsa
Waktu Mangsa
Umur Wastu
Wuntu
1.
Kasa (kartika)
22 Juni – 1 Agustus
41
41
2.
Karo (poso)
2 Agustus – 24 Agustus
23
23
3.
Katelu
25 Agustus – 17 September
24
24
4.
Kapat (sitra)
18 Sepetember – 12 Oktober
25
25
5.
Kalima (manggala)
13 Oktober – 8 November
27
27
6.
Kanem (naya)
9 November – 21 Desember
43
43
7.
Kapitu (palguna)
22 Desember – 2 Februari
43
43
8.
Kawolu (wasika)
3 Februari – 28 Februari
26
27
9.
Kasanga (jita)
1 Maret – 25 Maret
25
25
10.
Kasadasa (srawana)
26 Maret – 18 April
24
24
11.
Dhesta (pradawana)
19 April – 11 Mei
23
23
12.
Sadha (asuji)
12 Mei – 21 Juni
41
41



365
366
Menggah dhuawahing taun wuntu punika katentokaken saben 4 taun sapisan; dene psangetangipun : menawi angkaning taun kapara 4 pinang ceples, dhawah taun wuntu, kajawi yen angkaning taun wau dhauh atau jejeg.
1) Kasa, mulai 22 Juni, berusia 41 hari. Para petani membakar dami yang tertinggal di sawah dan di masa ini dimulai menanam palawija, sejenis belalang masuk ke tanah, daun-daunan berjatuhan. Penampakannya/ibaratnya : lir sotya (dedaunan) murca saka ngembanan (kayu-kayuan).
2) Karo, mulai 2 Agustus, berusia 23 hari. Palawija mulai tumbuh, pohon randu dan mangga, tanah mulai retak/berlubang. Penampakannya/ibaratnya : bantala (tanah) rengka (retak). Musim kapok bertunas tanam palawija kedua.
3) Katiga, mulai 25 Agustus, berusia 24 hari. Musimnya/waktunya lahan tidak ditanami, sebab panas sekali, yang mana Palawija mulai di panen, berbagai jenis bambu tumbuh. Penampakannya/ibaratnya : suta (anak) manut ing Bapa (lanjaran). Musim ubi-ubian bertunas panen palawija.
4) Kapat, mulai 19 September, berusia 25 hari. Sawah tidak ada (jarang) tanaman, sebab musim kemarau, para petani mulai menggarap sawah untuk ditanami padi gaga, pohon kapuk mulai berbuah, burung-burung kecil mulai bertelur. Penampakannya/ibaratnya : waspa kumembeng jroning kalbu (sumber). Musim sumur kering, kapuk berbuah, tanam pisang. . Pada masa ini kemarau berakhir.
5) Kalima, mulai 14 Oktober, berusia 27 hari. Mulai ada hujan, selokan sawah diperbaiki dan membuat tempat mengalir air di pinggir sawah, mulai menyebar padi gaga, pohon asem mulai tumbuh daun muda, ulat-ulat mulai keluar. Penampakannya/ibaratnya : pancuran (hujan) emas sumawur (hujannya) ing jagad. Musim turun hujan, pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda.
6) Kanem, mulai 10 Nopember, berusia 43 hari. Para petani mulai menyebar bibit tanaman padi di pembenihan, banyak buah-buahan (durian, rambutan, manggis dan lain-lainnya), burung blibis mulai kelihatan di tempat-tempat berair. Penampakannya/ibaratnya : rasa mulya kasucian (sedang banyak-banyaknya buah-buahan). Musim buah-buahan mulai tua, mulai menggarap sawah.
7) Kapitu, mulai 23 Desmber, usianya 43 hari. Benih padi mulai ditanam di sawah, banyak hujan, banyak sungai yang banjir. Penampakannya/ibaratnya : wisa kentar ing ing maruta (bisa larut dengan angin, itu masanya banyak penyakit). Musim banjir, badai longsor mulai tandur.
8) Kawolu, mulai 4 Pebruari, usianya 26 hari, atau 4 tahun sekali 27 hari. Padi mulai hijau, uret mulai banyak. Penampakannya/ibaratnya : anjrah jroning kayun (merata dalam keinginan, musimnya kucing kawin). Musim padi beristirahat, banyak ulat, banyak penyakit.
9) Kasanga, mulai 1 Maret, usianya 25 hari. Padi mulai berkembang dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin, cenggeret mulai bersuara. Penampakannya/ibaratnya : wedaring wacara mulya ( binatang tanah dan pohon mulai bersuara). Musim padi berbunga, turaes (sebangsa serangga) ramai berbunyi.
10) Kasepuluh, mulai 26 Maret, usianya 24 hari. Padi mulai menguning, mulai panen, banyak hewan hamil, burung-burung kecil mulai menetas telurnya. Penampakannya/ibaratnya : gedong minep jroning kalbu (masa hewan sedang hamil). Musim padi berisi tapi masih hijau, burung-burung membuat sarang, tanam palawija di lahan kering.
11) Desta, mulai 19 April, berusia 23 hari. Seluruhnya memanen padi. Penampakannya/ibaratnya: sotya (anak burung) sinara wedi (disuapi makanan). Masih ada waktu untuk palawija, burung-burung menyuapi anaknya.
12) Sadha, mulai 12 Mei, berusia 41 hari. Para petani mulai menjemur padi dan memasukkan ke lumbung. Di sawah hanya tersisa dami. Penampakannya/ibaratnya : tirta (keringat) sah saking sasana (badan) (air pergi darisumbernya, masa ini musim dingin, jarang orang berkeringat, sebab sangat dingin). Musim menumpuk jerami,tanda-tanda udara dingin pada pagi hari.
Dari Pranata Mangsa itu diketahui bahwa pada bulan Desember-Januari-Pebruari adalah musimnya badai, hujan, banjir dan longsor. Mendekati kecocokan dengan situasi alam sekarang dan jadwal itu sesuai dengan perubahan iklim yang telah disepakati bersama.
Selanjutnya pada musim Kawolu antara 2/3 Pebruari - 1/2 Maret, bersiap-siaga waspada menghadapi penyakit tanaman maupun wabah bagi manusia dan hewan, mungkin akibat dari banjir, badai dan longsor tersebut akan berdampak menyebarnya penyakit dan kelaparan. Hal tersebut masuk akal, karena manusia atau binatang bahkan tanamanpun belum siap mempertahankan diri dari serangan hama penyakit.
Kaitannya dengan para nelayan, mereka melaut sambil membaca alam dengan melihat letak bintang yang dianggap patokan yang selalu menemani saat melaut. Sudah tentu mereka mengetahui pada bulan-bulan berapa mereka saat yang baik melaut dan akan mendapatkan ikan banyak. Sebaliknya mereka mengetahui saat-saat tidak melaut, berbahaya dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat itulah mereka gunakan waktu untuk memperbaiki jaring-jaring yang rusak, memperbaiki rumah dan pekerjaan selain melaut, sehingga mereka dapat mengurangi risiko dan mencegah biaya produksi tinggi.
1. Mangsa Kasa/Sura :
Candrane Sotya murca saking embananSotya = mutiara, murca = hilang. Pindhane mutiara coplok saka embane. Akeh godhong padha rontok, wit-witan padha ngarang. Awal mangsa ketiga.
Umure : 41 dina. 22 Juni – 1 Agustus.
2. Mangsa Karo :
Candrane Bantala rengkaBantala = lemah, rengka= pecah. Lemah-lemah padha nela.Mangsane paceklik larang pangan.
Umure : 23 dina. 2 Agustus – 24 Agustus.
3. Mangsa Katelu :
Candrane : Suta manut ing bapaSuta = anak. Pindhane anak manut marang bapakePungkasane mangsa ketiga.Lung-lunganbangsane gadunguwigembili padhamrambat.
Umure : 24 dina. 25 Agustus – 17 September
4. Mangsa Kapat :
Candrane : Waspa kumembeng jroning kalbu. Waspa = eluh, kumembeng = kembeng, kebak, kalbu = ati. Pindhane eluh kebak ing jerone ati. Sumber padha garing.Awal mangsa labuh.
Umure : 25 dina. 18 Sptember – 12 Oktober.
5. Mangsa Kalima :
Candrane: Pancuran mas sumawur ing jagat. Mas pindane udan. Wiwit ana udan. Para among tani wiwit padha nggarap sawah.
Umure : 27 dina. 13 Oktober – 8 Nopember.
6. Mangsa Kanem :
Candrane : Rasa mulya kasucian. Pindhane mulya-mulya rasa kang suci. Woh-wohan bangsane pelem lsp wiwit padha awoh. Pungkasane mangsa labuh. Udan wiwit akeh lan deres.
Umure : 43 dina. 9 Nopember – 21 Desember.
7. Mangsa Kapitu :
Candrane : Wisa kentir ing maruta. Wisa = racun, penyakit; kentir = keli, katut ; maruta = angin. Pindhane : Penyakit akeh, akeh wong lara.
Umure : 43 dina. 22 Desember – 2 Pebruari.
8. Mangsa Kawolu :
Candrane : Anjrah jroning kayun. Anjrah = sumebar, warata; kayun = karep, kapti. Pindhane akeh pangarep-arep. Para among tani padha ngarep-arep asile tanduran. Wit pari padha mbledug.
Umure : 26 dina. 3Pebruari – 28 Pebruari.
9. Mangsa Kasanga :
Candrane : Wedharing wacana mulya. Wedhar = wetu; wacana = pangandikan, swara, uni; mulya = mulia, endah. Pindhane akeh swara kang keprungu endah, kepenak. Garengpung padha muni, gangsir padha ngethir, jangkrik padha ngerik.
Umure : 25dina. 1 Maret – 25 Maret.
10. Mangsa Kasepuluh/Kasadasa :
Candrane : Gedhong mineb jroning kalbu. Pindhane akeh kewan padha meteng. Kucing padha gandhik. Manuk padha ngendhog.
Umure : 24 dina. 26 Maret – 18 April.
11. Mangsa Dhesta :
Candrane : Sotya sinarawedi. Sotya = mutiara; sinarawedi = banget ditresnani (?). Pindhane kaya mutyara kang banget ditresnani. Mangsane manuk ngloloh anake. Mangsa mareng.
Umure : 23 dina. 19 April – 11 Mei.
12. Mangsa Sada :
Candrane : Tirta sah saking sasana. Tirta = banyu; sah = ilang; sasana = panggonan. Pindhane wong-wong ora kringeten jalaran mangsa bedhidhing (adhem). Akhir mangsa mareng.
Umure : 41 dina. 12 Mei – 21 Juni.
Kalender Pranatamangsa dapat juga dipandang sebagai Kalender Orionik atau kalender yang menggunakan rasi bintang, karena kehadiran Orion yang menurut masyarakat agraris dipandang sebagai (Wa)luku/bajak lebih memegang peranan bagi masyarakat. Bagi petani di masa lampau, dengan memegang beras pada telapak tangan terbuka, kemudian mengarahkan tangan pada Luku pada rembang petang, maka ketika bulir-bulir beras jatuh dari tangan, itulah saat untuk memulai bercocok tanam.Praktek penggunaan kalender ini telah dilakukan semenjak sejarah Indonesia belum tercatat. Patokannya tidak hanya benda langit, tapi juga fenomena yang terjadi di alam: Musim tanaman, perilaku binatang, arah angin, kelembaban, curah hujan; dan kalender ini dipergunakan sebagai pedoman bertani, berdagang, merantau, berperang & pemerintahan. Baru di abad ke-19, kalender ini dibakukan sebagai sistem kalender oleh Sri Susuhunan Pakubuwono ke-VII , 22 Juni 1856, juga dengan memasukkan tahun Kabisat.
D.    Metode dan Cara Penghitungan Pranoto Mongso
Jumlah bulan dalam kalender ini sama dengan jumlah bulan pada kalender Masehi maupun Hijriah yaitu terdiri dari 12 bulan. Sedangkan cara membuat dan masuknya bulan pada kalender ini, cukup dengan mengikutkannya dengan kalender Masehi pada tanggal dan bulan yang sudah ditentukan.
Contoh :
Tabel 2.4.1 Februari 2012 
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Ahad


1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29




Tabel 2.4.2 Maret 2012
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Ahad



1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Keterangan :
1.      3-29 Pebruari : mangsa kawolu (Rendheng - Pangarep-arep), Penampakannya/ibaratnya anjrah jroning kayun (merata dalam keinginan, musimnya kucing kawin). Tanaman padi sudah menjadi tinggi, sebagian mulai berbuah, uret mulai banyak.
2.      1-25 Maret : mangsa kasanga (Rendheng - Pangarep-arep), Penampakannya/ibaratnya : wedaring wacara mulya ( binatang tanah dan pohon mulai bersuara). Padi mulai berkembang dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, musim kucing kawin, tenggeret mulai bersuara.
E.     Pengaplikasian Pranoto Mongso pada Saat Ini
Prediksi cuaca dan iklim tradisional bersifat lokal, seperti pranata mangsa hanya berlaku untuk masyarakat di Pulau Jawa. Demikian juga dengan cara tradisional lainnya seperti Palontara untuk masyarakat Sulawesi, Kala di Sunda, Porhalaan di Batak, Wariga di Bali. Sistem prakiraan tradisional itu umumnya masih digunakan petani lahan kering (tadah hujan), yang keberhasilan tanamannya sangat ditentukan oleh curah hujan. Saat ini, penggunaan cara tradisional, khususnya pranata mangsa sebagian masyarakat Jawa sudah banyak yang melupakan dan tidak mempergunakan lagi.
Di tengah pesatnya degradasi lingkungan dan lahan-lahan beralih fungsi, gejala alam yang sangat berguna bagi petani mulai susah dijadikan patokan. Sebagai ilustrasi sekarang ini, baru jam 21.00 saja ayam sudah berkokok, padahal dulu biasanya kokok ayam pertama sekitar pukul 00.00. Akibatnya, meskipun pranata mangsa ini masih digunakan, namun acapkali bias dan kurang adaptif, mengingat indikatornya ikut hilang, seiring dengan terjadinya degradasi lingkungan, dampak gas rumah kaca, dan panas global. Saya berkeyakinan bahwa Pranata Mangsa itu bersifat lokalitas dan bukan bersifat global. Karena perhitungan raja hanya memfokuskan objeknya pada masyarakatnya saja, yaitu pada rakyat Jawa, jadi kita tidak bisa mengaplikasikan sistem Pranata Mangsa di daerah abnormal, seperti di kutub, atau negara-negara Eropa, bahkan mungkin di Kalimantan-pun hasil perhitungan baku Pranata Mangsa tidak berlaku sepenuhnya, karena daerahnya dekat dengan katulistiwa dan disana banyak sungai yang mengalir yang berpengaruh terhadap kesuburan tanah.
Meskipun Pranata Mangsa itu bersifat lokal, tidak ada salahnya apabila kita yang berada di kepulauan Indonesia ini menjadikan acuan untuk bercocok tanam, karena letak geografis satu daerah dengan daerah lain masih dalam iklim tropis yang sama. Anugerah perhitungan Pranata Mangsa seperti ini sudah sepatutnya kita syukuri, begitu juga dengan sistem perhitungan-perhitungan yang lain, seperti kalender pertanian yang dirancang untuk masyarakat Kalimantan oleh Datu Gadung Rantau , Kalimantan Selatan pada awal abad XIX. 
Terlepas dari semua itu, adanya aturan sistematis tersebut menunjukkan kemajuan adat dan budaya serta kemampuan orang Jawa untuk menganalisa masalah global dan menafsirkannya dalam bentuk aturan baku. Pranoto mongso, masih dan akan tetap dipakai oleh orang Jawa dalam berbagai aspek kehidupan.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, Kalender baku Pranata Mangsa pada zaman dulu, digunakan sebagai acuan dalam bercocok tanam, berlabuh di laut, dan lain sebagainya. Selain untuk bercocok tanam kalender baku pranata mangsa ini bisa kita jadikan senagai acuan laku tidaknya perdagangan kita, acuan Pranata Mangsa itu kita jadikan sebagai sumber qiyas. sebagai contoh, pada mangsa Sadha, mulai 12 Mei, berusia 41 hari. Keadaan alam pada saat itu berkedudukan di titik musim dingin, hal ini senada dengan ilmu geografi pada zaman sekarang ini. Dan efek yang timbul pada makhluk hidup khususnya manusia yaitu jarang orang berkeringat, sebab sangat dingin. Ketika pada musim hujan itulah kita kedinginan, maka sangat tepat sekali apabila kita berjualan switer, payung, jas hujan dilengkapi dengan pengadaan warung kopi.
Upaya raja dalam menunjang suksesnya bertani ala Pranata Mangsa itu dilihat dari letak geografis dan ekonomi. Akan tetapi kalau kita kaitkan dengan zaman sekarang, maka faktor geografi dan ekonomi masih belum cukup, karena kita berhadapan dengan masyarakat yang moralnya mengalami kemerosotan dengan semakin bertambah jauh dari generasi Islam pertama. Kaitannya adalah sosiologi dan antropologi yang berkembang di masyarakat setempat, dengankata lain kerugian bukan saja disebabkan ketidak produktifannya dalam bercocok tanam akibat hama dan musim, akan tetapi juga disebabkan maling yang mencuri tanaman kita (buah-buahan dan lain sebagainya), maka dari itu untuk merealisasikannya pada zaman sekarang ini perlu dilengkapi keterampilan dan memahami apa yang terkandung dalam kitab primbon bagi orang jawa, bagi orang kalimantan (dayak) dengan memesang jimat agar maling tidak bisa mengambilnya, sementara kita selaku orang muslim dengan memperbanyak doa, solat dhuha, sedekah, bahkan solat istisqa ketika air hujan belum kunjung tiba membasahi lahan pertanian.