Jumat, 01 Januari 2016

Pranoto Mongso



A.    Pengertian Pranoto Mongso
Pranoto Mongso artinya Aturan Musim. Pranoto Mongso adalah salah satu pengetahuan kuno yang didasarkan pada penanggalan Jawa. Pranoto Mongso membagi satu tahun menjadi 12 bagian sesuai musim, dan banyak digunakan terutama untuk pertanian. Tidaklah mengherankan jika sejak dulu kala Pulau Jawa merupakan pusat kehidupan di Kepulauan Nusantara. Dan penanggalan Pranotomongso ini didasarkan pada penanggalan Syamsiyah. Dengan rumit dan detailnya perhitungan untuk pertanian ini, membuat pertanian di Pulau Jawa maju pesat karena dengan tepat menyesuaikan penanaman komoditas pertanian tertentu dengan menerapkan prinsip Pranoto Mongso ini. 
Pranoto Mongso semacam penanggalan yang dikaitkan dengan kegiatan usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan. Pranoto Mongso berbasis peredaran matahari dan siklusnya (setahun) berumur 365 hari (atau 366 hari) serta memuat berbagai aspek fenologi dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan usaha tani maupun persiapan diri menghadapi bencana (kekeringan, wabah penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada waktu-waktu tertentu.
Pranoto Mongso dalam versi pengetahuan yang dipegang petani atau nelayan diwariskan secara oral (dari mulut ke mulut). Selain itu, ia bersifat lokal dan temporal (dibatasi oleh tempat dan waktu) sehingga suatu perincian yang dibuat untuk suatu tempat tidak sepenuhnya berlaku untuk tempat lain. Petani, umpamanya, menggunakan pedoman pranoto mongso untuk menentukan awal masa tanam. Nelayan menggunakannya sebagai pedoman untuk melaut atau memprediksi jenis tangkapan.
Sedangkan Pranoto mongso dalam versi Kasunanan yang berlaku untuk wilayah di antara Gunung Merapi dan Gunung Lawu. Setahun menurut penanggalan ini dibagi menjadi empat musim (mangsa) utama, yaitu musim kemarau atau ketigå (88 hari), musim pancaroba menjelang hujan atau labuh (95 hari), musim hujan atau dalam bahasa Jawa disebut rendheng (95 hari) , dan pancaroba akhir musim hujan atau marèng (86 hari).
Musim dapat dikaitkan pula dengan perilaku hewan, perkembangan tumbuhan, situasi alam sekitar, dan dalam praktek amat berkaitan dengan kultur agraris. Berdasarkan ciri-ciri ini setahun juga dapat dibagi menjadi empat musim utama dan dua musim "kecil": terang ("langit cerah", 82 hari), semplah ("penderitaan", 99 hari) dengan mangsa kecil paceklik pada 23 hari pertama, udan ("musim hujan", 86 hari), dan pangarep-arep ("penuh harap", 98/99 hari) dengan mangsa kecil panèn pada 23 hari terakhir.
B.     Sejarah Pranoto Mongso
Pranoto mongso diperkenalkan pada masa Sunan Pakubuwana VII (raja Surakarta) dan mulai dipakai sejak 22 Juni 1856, dimaksudkan sebagai pedoman bagi para petani pada masa itu.  Perlu disadari bahwa penanaman padi pada waktu itu hanya berlangsung sekali setahun, diikuti oleh palawija atau padi gogo. Selain itu, pranoto mongso pada masa itu dimaksudkan sebagai petunjuk bagi pihak-pihak terkait untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana alam, mengingat teknologi prakiraan cuaca belum dikenal. Pranoto mongso dalam bentuk "kumpulan pengetahuan" lisan tersebut hingga kini masih diterapkan oleh sekelompok orang dan sedikit banyak merupakan pengamatan terhadap gejala-gejala alam.
Terdapat petunjuk bahwa masyarakat Jawa, khususnya yang bermukim di wilayah sekitar Gunung Merapi, Gunung Merbabu, sampai Gunung Lawu, telah mengenal prinsip-prinsip pranoto mongso jauh sebelum kedatangan pengaruh dari India. Prinsip-prinsip ini berbasis peredaran matahari di langit dan peredaran rasi bintang Waluku (Orion). Di wilayah ini, penduduknya menerapkan penanggalan berbasis peredaran matahari dan rasi bintang sebagai bagian dari keselarasan hidup mengikuti perubahan irama alam dalam setahun. Pengetahuan ini dapat diperkirakan telah diwariskan secara turun-temurun sejak periode Kerajaan Medang (Mataram Hindu) dari abad ke-9 sampai dengan periode Kesultanan Mataram di abad ke-17 sebagai panduan dalam bidang pertanian, ekonomi, administrasi, dan pertahanan (kemiliteran).
Perubahan teknologi yang diterapkan di Jawa semenjak 1970-an, berupa paket intensifikasi pertanian seperti penggunaan pupuk kimia, kultivar berumur genjah (dapat dipanen pada umur 120 hari atau kurang, sebelumnya memakan waktu hingga 180 hari), meluasnya jaringan irigasi melalui berbagai bendungan atau bendung, dan terutama berkembang pesatnya teknik prakiraan cuaca telah menyebabkan pranoto mongso (versi Kasunanan) kehilangan banyak relevansi. Isu perubahan iklim global yang semakin menguat semenjak 1990-an juga membuat pranoto mongso harus ditinjau kembali karena dianggap "tidak lagi dapat dibaca".
C.    Penanggalan Pranoto Mongso
Pada tahun 1855 M, karena penanggalan bulan dianggap tidak memadai sebagai patokan para petani untuk bertanam, maka bulan-bulan musim atau bulan-bulan matahari yang disebut sebagai pranata mangsa diperbaharui oleh Sri Paduka Mangkunegara IV. Penanggalan yang telah diperbaharui tersebut ditetapkan secara resmi dengan nama-nama pranata mangsa tersebut sebagai berikut :
Tabel 2.3 Daur kalender baku Pranata Mangsa
No.
Hamaning Mangsa
Waktu Mangsa
Umur Wastu
Wuntu
1.
Kasa (kartika)
22 Juni – 1 Agustus
41
41
2.
Karo (poso)
2 Agustus – 24 Agustus
23
23
3.
Katelu
25 Agustus – 17 September
24
24
4.
Kapat (sitra)
18 Sepetember – 12 Oktober
25
25
5.
Kalima (manggala)
13 Oktober – 8 November
27
27
6.
Kanem (naya)
9 November – 21 Desember
43
43
7.
Kapitu (palguna)
22 Desember – 2 Februari
43
43
8.
Kawolu (wasika)
3 Februari – 28 Februari
26
27
9.
Kasanga (jita)
1 Maret – 25 Maret
25
25
10.
Kasadasa (srawana)
26 Maret – 18 April
24
24
11.
Dhesta (pradawana)
19 April – 11 Mei
23
23
12.
Sadha (asuji)
12 Mei – 21 Juni
41
41



365
366
Menggah dhuawahing taun wuntu punika katentokaken saben 4 taun sapisan; dene psangetangipun : menawi angkaning taun kapara 4 pinang ceples, dhawah taun wuntu, kajawi yen angkaning taun wau dhauh atau jejeg.
1) Kasa, mulai 22 Juni, berusia 41 hari. Para petani membakar dami yang tertinggal di sawah dan di masa ini dimulai menanam palawija, sejenis belalang masuk ke tanah, daun-daunan berjatuhan. Penampakannya/ibaratnya : lir sotya (dedaunan) murca saka ngembanan (kayu-kayuan).
2) Karo, mulai 2 Agustus, berusia 23 hari. Palawija mulai tumbuh, pohon randu dan mangga, tanah mulai retak/berlubang. Penampakannya/ibaratnya : bantala (tanah) rengka (retak). Musim kapok bertunas tanam palawija kedua.
3) Katiga, mulai 25 Agustus, berusia 24 hari. Musimnya/waktunya lahan tidak ditanami, sebab panas sekali, yang mana Palawija mulai di panen, berbagai jenis bambu tumbuh. Penampakannya/ibaratnya : suta (anak) manut ing Bapa (lanjaran). Musim ubi-ubian bertunas panen palawija.
4) Kapat, mulai 19 September, berusia 25 hari. Sawah tidak ada (jarang) tanaman, sebab musim kemarau, para petani mulai menggarap sawah untuk ditanami padi gaga, pohon kapuk mulai berbuah, burung-burung kecil mulai bertelur. Penampakannya/ibaratnya : waspa kumembeng jroning kalbu (sumber). Musim sumur kering, kapuk berbuah, tanam pisang. . Pada masa ini kemarau berakhir.
5) Kalima, mulai 14 Oktober, berusia 27 hari. Mulai ada hujan, selokan sawah diperbaiki dan membuat tempat mengalir air di pinggir sawah, mulai menyebar padi gaga, pohon asem mulai tumbuh daun muda, ulat-ulat mulai keluar. Penampakannya/ibaratnya : pancuran (hujan) emas sumawur (hujannya) ing jagad. Musim turun hujan, pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda.
6) Kanem, mulai 10 Nopember, berusia 43 hari. Para petani mulai menyebar bibit tanaman padi di pembenihan, banyak buah-buahan (durian, rambutan, manggis dan lain-lainnya), burung blibis mulai kelihatan di tempat-tempat berair. Penampakannya/ibaratnya : rasa mulya kasucian (sedang banyak-banyaknya buah-buahan). Musim buah-buahan mulai tua, mulai menggarap sawah.
7) Kapitu, mulai 23 Desmber, usianya 43 hari. Benih padi mulai ditanam di sawah, banyak hujan, banyak sungai yang banjir. Penampakannya/ibaratnya : wisa kentar ing ing maruta (bisa larut dengan angin, itu masanya banyak penyakit). Musim banjir, badai longsor mulai tandur.
8) Kawolu, mulai 4 Pebruari, usianya 26 hari, atau 4 tahun sekali 27 hari. Padi mulai hijau, uret mulai banyak. Penampakannya/ibaratnya : anjrah jroning kayun (merata dalam keinginan, musimnya kucing kawin). Musim padi beristirahat, banyak ulat, banyak penyakit.
9) Kasanga, mulai 1 Maret, usianya 25 hari. Padi mulai berkembang dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin, cenggeret mulai bersuara. Penampakannya/ibaratnya : wedaring wacara mulya ( binatang tanah dan pohon mulai bersuara). Musim padi berbunga, turaes (sebangsa serangga) ramai berbunyi.
10) Kasepuluh, mulai 26 Maret, usianya 24 hari. Padi mulai menguning, mulai panen, banyak hewan hamil, burung-burung kecil mulai menetas telurnya. Penampakannya/ibaratnya : gedong minep jroning kalbu (masa hewan sedang hamil). Musim padi berisi tapi masih hijau, burung-burung membuat sarang, tanam palawija di lahan kering.
11) Desta, mulai 19 April, berusia 23 hari. Seluruhnya memanen padi. Penampakannya/ibaratnya: sotya (anak burung) sinara wedi (disuapi makanan). Masih ada waktu untuk palawija, burung-burung menyuapi anaknya.
12) Sadha, mulai 12 Mei, berusia 41 hari. Para petani mulai menjemur padi dan memasukkan ke lumbung. Di sawah hanya tersisa dami. Penampakannya/ibaratnya : tirta (keringat) sah saking sasana (badan) (air pergi darisumbernya, masa ini musim dingin, jarang orang berkeringat, sebab sangat dingin). Musim menumpuk jerami,tanda-tanda udara dingin pada pagi hari.
Dari Pranata Mangsa itu diketahui bahwa pada bulan Desember-Januari-Pebruari adalah musimnya badai, hujan, banjir dan longsor. Mendekati kecocokan dengan situasi alam sekarang dan jadwal itu sesuai dengan perubahan iklim yang telah disepakati bersama.
Selanjutnya pada musim Kawolu antara 2/3 Pebruari - 1/2 Maret, bersiap-siaga waspada menghadapi penyakit tanaman maupun wabah bagi manusia dan hewan, mungkin akibat dari banjir, badai dan longsor tersebut akan berdampak menyebarnya penyakit dan kelaparan. Hal tersebut masuk akal, karena manusia atau binatang bahkan tanamanpun belum siap mempertahankan diri dari serangan hama penyakit.
Kaitannya dengan para nelayan, mereka melaut sambil membaca alam dengan melihat letak bintang yang dianggap patokan yang selalu menemani saat melaut. Sudah tentu mereka mengetahui pada bulan-bulan berapa mereka saat yang baik melaut dan akan mendapatkan ikan banyak. Sebaliknya mereka mengetahui saat-saat tidak melaut, berbahaya dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat itulah mereka gunakan waktu untuk memperbaiki jaring-jaring yang rusak, memperbaiki rumah dan pekerjaan selain melaut, sehingga mereka dapat mengurangi risiko dan mencegah biaya produksi tinggi.
1. Mangsa Kasa/Sura :
Candrane Sotya murca saking embananSotya = mutiara, murca = hilang. Pindhane mutiara coplok saka embane. Akeh godhong padha rontok, wit-witan padha ngarang. Awal mangsa ketiga.
Umure : 41 dina. 22 Juni – 1 Agustus.
2. Mangsa Karo :
Candrane Bantala rengkaBantala = lemah, rengka= pecah. Lemah-lemah padha nela.Mangsane paceklik larang pangan.
Umure : 23 dina. 2 Agustus – 24 Agustus.
3. Mangsa Katelu :
Candrane : Suta manut ing bapaSuta = anak. Pindhane anak manut marang bapakePungkasane mangsa ketiga.Lung-lunganbangsane gadunguwigembili padhamrambat.
Umure : 24 dina. 25 Agustus – 17 September
4. Mangsa Kapat :
Candrane : Waspa kumembeng jroning kalbu. Waspa = eluh, kumembeng = kembeng, kebak, kalbu = ati. Pindhane eluh kebak ing jerone ati. Sumber padha garing.Awal mangsa labuh.
Umure : 25 dina. 18 Sptember – 12 Oktober.
5. Mangsa Kalima :
Candrane: Pancuran mas sumawur ing jagat. Mas pindane udan. Wiwit ana udan. Para among tani wiwit padha nggarap sawah.
Umure : 27 dina. 13 Oktober – 8 Nopember.
6. Mangsa Kanem :
Candrane : Rasa mulya kasucian. Pindhane mulya-mulya rasa kang suci. Woh-wohan bangsane pelem lsp wiwit padha awoh. Pungkasane mangsa labuh. Udan wiwit akeh lan deres.
Umure : 43 dina. 9 Nopember – 21 Desember.
7. Mangsa Kapitu :
Candrane : Wisa kentir ing maruta. Wisa = racun, penyakit; kentir = keli, katut ; maruta = angin. Pindhane : Penyakit akeh, akeh wong lara.
Umure : 43 dina. 22 Desember – 2 Pebruari.
8. Mangsa Kawolu :
Candrane : Anjrah jroning kayun. Anjrah = sumebar, warata; kayun = karep, kapti. Pindhane akeh pangarep-arep. Para among tani padha ngarep-arep asile tanduran. Wit pari padha mbledug.
Umure : 26 dina. 3Pebruari – 28 Pebruari.
9. Mangsa Kasanga :
Candrane : Wedharing wacana mulya. Wedhar = wetu; wacana = pangandikan, swara, uni; mulya = mulia, endah. Pindhane akeh swara kang keprungu endah, kepenak. Garengpung padha muni, gangsir padha ngethir, jangkrik padha ngerik.
Umure : 25dina. 1 Maret – 25 Maret.
10. Mangsa Kasepuluh/Kasadasa :
Candrane : Gedhong mineb jroning kalbu. Pindhane akeh kewan padha meteng. Kucing padha gandhik. Manuk padha ngendhog.
Umure : 24 dina. 26 Maret – 18 April.
11. Mangsa Dhesta :
Candrane : Sotya sinarawedi. Sotya = mutiara; sinarawedi = banget ditresnani (?). Pindhane kaya mutyara kang banget ditresnani. Mangsane manuk ngloloh anake. Mangsa mareng.
Umure : 23 dina. 19 April – 11 Mei.
12. Mangsa Sada :
Candrane : Tirta sah saking sasana. Tirta = banyu; sah = ilang; sasana = panggonan. Pindhane wong-wong ora kringeten jalaran mangsa bedhidhing (adhem). Akhir mangsa mareng.
Umure : 41 dina. 12 Mei – 21 Juni.
Kalender Pranatamangsa dapat juga dipandang sebagai Kalender Orionik atau kalender yang menggunakan rasi bintang, karena kehadiran Orion yang menurut masyarakat agraris dipandang sebagai (Wa)luku/bajak lebih memegang peranan bagi masyarakat. Bagi petani di masa lampau, dengan memegang beras pada telapak tangan terbuka, kemudian mengarahkan tangan pada Luku pada rembang petang, maka ketika bulir-bulir beras jatuh dari tangan, itulah saat untuk memulai bercocok tanam.Praktek penggunaan kalender ini telah dilakukan semenjak sejarah Indonesia belum tercatat. Patokannya tidak hanya benda langit, tapi juga fenomena yang terjadi di alam: Musim tanaman, perilaku binatang, arah angin, kelembaban, curah hujan; dan kalender ini dipergunakan sebagai pedoman bertani, berdagang, merantau, berperang & pemerintahan. Baru di abad ke-19, kalender ini dibakukan sebagai sistem kalender oleh Sri Susuhunan Pakubuwono ke-VII , 22 Juni 1856, juga dengan memasukkan tahun Kabisat.
D.    Metode dan Cara Penghitungan Pranoto Mongso
Jumlah bulan dalam kalender ini sama dengan jumlah bulan pada kalender Masehi maupun Hijriah yaitu terdiri dari 12 bulan. Sedangkan cara membuat dan masuknya bulan pada kalender ini, cukup dengan mengikutkannya dengan kalender Masehi pada tanggal dan bulan yang sudah ditentukan.
Contoh :
Tabel 2.4.1 Februari 2012 
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Ahad


1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29




Tabel 2.4.2 Maret 2012
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Ahad



1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Keterangan :
1.      3-29 Pebruari : mangsa kawolu (Rendheng - Pangarep-arep), Penampakannya/ibaratnya anjrah jroning kayun (merata dalam keinginan, musimnya kucing kawin). Tanaman padi sudah menjadi tinggi, sebagian mulai berbuah, uret mulai banyak.
2.      1-25 Maret : mangsa kasanga (Rendheng - Pangarep-arep), Penampakannya/ibaratnya : wedaring wacara mulya ( binatang tanah dan pohon mulai bersuara). Padi mulai berkembang dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, musim kucing kawin, tenggeret mulai bersuara.
E.     Pengaplikasian Pranoto Mongso pada Saat Ini
Prediksi cuaca dan iklim tradisional bersifat lokal, seperti pranata mangsa hanya berlaku untuk masyarakat di Pulau Jawa. Demikian juga dengan cara tradisional lainnya seperti Palontara untuk masyarakat Sulawesi, Kala di Sunda, Porhalaan di Batak, Wariga di Bali. Sistem prakiraan tradisional itu umumnya masih digunakan petani lahan kering (tadah hujan), yang keberhasilan tanamannya sangat ditentukan oleh curah hujan. Saat ini, penggunaan cara tradisional, khususnya pranata mangsa sebagian masyarakat Jawa sudah banyak yang melupakan dan tidak mempergunakan lagi.
Di tengah pesatnya degradasi lingkungan dan lahan-lahan beralih fungsi, gejala alam yang sangat berguna bagi petani mulai susah dijadikan patokan. Sebagai ilustrasi sekarang ini, baru jam 21.00 saja ayam sudah berkokok, padahal dulu biasanya kokok ayam pertama sekitar pukul 00.00. Akibatnya, meskipun pranata mangsa ini masih digunakan, namun acapkali bias dan kurang adaptif, mengingat indikatornya ikut hilang, seiring dengan terjadinya degradasi lingkungan, dampak gas rumah kaca, dan panas global. Saya berkeyakinan bahwa Pranata Mangsa itu bersifat lokalitas dan bukan bersifat global. Karena perhitungan raja hanya memfokuskan objeknya pada masyarakatnya saja, yaitu pada rakyat Jawa, jadi kita tidak bisa mengaplikasikan sistem Pranata Mangsa di daerah abnormal, seperti di kutub, atau negara-negara Eropa, bahkan mungkin di Kalimantan-pun hasil perhitungan baku Pranata Mangsa tidak berlaku sepenuhnya, karena daerahnya dekat dengan katulistiwa dan disana banyak sungai yang mengalir yang berpengaruh terhadap kesuburan tanah.
Meskipun Pranata Mangsa itu bersifat lokal, tidak ada salahnya apabila kita yang berada di kepulauan Indonesia ini menjadikan acuan untuk bercocok tanam, karena letak geografis satu daerah dengan daerah lain masih dalam iklim tropis yang sama. Anugerah perhitungan Pranata Mangsa seperti ini sudah sepatutnya kita syukuri, begitu juga dengan sistem perhitungan-perhitungan yang lain, seperti kalender pertanian yang dirancang untuk masyarakat Kalimantan oleh Datu Gadung Rantau , Kalimantan Selatan pada awal abad XIX. 
Terlepas dari semua itu, adanya aturan sistematis tersebut menunjukkan kemajuan adat dan budaya serta kemampuan orang Jawa untuk menganalisa masalah global dan menafsirkannya dalam bentuk aturan baku. Pranoto mongso, masih dan akan tetap dipakai oleh orang Jawa dalam berbagai aspek kehidupan.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, Kalender baku Pranata Mangsa pada zaman dulu, digunakan sebagai acuan dalam bercocok tanam, berlabuh di laut, dan lain sebagainya. Selain untuk bercocok tanam kalender baku pranata mangsa ini bisa kita jadikan senagai acuan laku tidaknya perdagangan kita, acuan Pranata Mangsa itu kita jadikan sebagai sumber qiyas. sebagai contoh, pada mangsa Sadha, mulai 12 Mei, berusia 41 hari. Keadaan alam pada saat itu berkedudukan di titik musim dingin, hal ini senada dengan ilmu geografi pada zaman sekarang ini. Dan efek yang timbul pada makhluk hidup khususnya manusia yaitu jarang orang berkeringat, sebab sangat dingin. Ketika pada musim hujan itulah kita kedinginan, maka sangat tepat sekali apabila kita berjualan switer, payung, jas hujan dilengkapi dengan pengadaan warung kopi.
Upaya raja dalam menunjang suksesnya bertani ala Pranata Mangsa itu dilihat dari letak geografis dan ekonomi. Akan tetapi kalau kita kaitkan dengan zaman sekarang, maka faktor geografi dan ekonomi masih belum cukup, karena kita berhadapan dengan masyarakat yang moralnya mengalami kemerosotan dengan semakin bertambah jauh dari generasi Islam pertama. Kaitannya adalah sosiologi dan antropologi yang berkembang di masyarakat setempat, dengankata lain kerugian bukan saja disebabkan ketidak produktifannya dalam bercocok tanam akibat hama dan musim, akan tetapi juga disebabkan maling yang mencuri tanaman kita (buah-buahan dan lain sebagainya), maka dari itu untuk merealisasikannya pada zaman sekarang ini perlu dilengkapi keterampilan dan memahami apa yang terkandung dalam kitab primbon bagi orang jawa, bagi orang kalimantan (dayak) dengan memesang jimat agar maling tidak bisa mengambilnya, sementara kita selaku orang muslim dengan memperbanyak doa, solat dhuha, sedekah, bahkan solat istisqa ketika air hujan belum kunjung tiba membasahi lahan pertanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar