A.
Pengertian
Pranoto Mongso
Pranoto Mongso artinya Aturan Musim. Pranoto Mongso adalah
salah satu pengetahuan kuno yang didasarkan pada penanggalan Jawa. Pranoto
Mongso membagi satu tahun menjadi 12 bagian sesuai musim, dan banyak digunakan
terutama untuk pertanian. Tidaklah mengherankan jika sejak dulu kala Pulau Jawa
merupakan pusat kehidupan di Kepulauan Nusantara. Dan penanggalan Pranotomongso
ini didasarkan pada penanggalan Syamsiyah. Dengan rumit dan detailnya
perhitungan untuk pertanian ini, membuat pertanian di Pulau Jawa maju pesat
karena dengan tepat menyesuaikan penanaman komoditas pertanian tertentu dengan
menerapkan prinsip Pranoto Mongso ini.
Pranoto
Mongso semacam penanggalan yang dikaitkan dengan kegiatan
usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan. Pranoto Mongso berbasis peredaran matahari dan siklusnya (setahun) berumur 365 hari (atau 366 hari)
serta memuat berbagai aspek fenologi dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman
dalam kegiatan usaha tani maupun persiapan diri menghadapi bencana (kekeringan, wabah penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada
waktu-waktu tertentu.
Pranoto
Mongso dalam versi pengetahuan yang dipegang petani atau nelayan diwariskan
secara oral (dari mulut ke mulut). Selain itu, ia bersifat lokal dan temporal
(dibatasi oleh tempat dan waktu) sehingga suatu perincian yang dibuat untuk
suatu tempat tidak sepenuhnya berlaku untuk tempat lain. Petani, umpamanya,
menggunakan pedoman pranoto mongso untuk menentukan awal masa tanam. Nelayan
menggunakannya sebagai pedoman untuk melaut atau memprediksi jenis tangkapan.
Sedangkan
Pranoto mongso dalam versi Kasunanan yang berlaku untuk wilayah di
antara Gunung Merapi dan Gunung Lawu. Setahun menurut penanggalan ini dibagi menjadi empat musim
(mangsa) utama, yaitu musim kemarau atau ketigå (88 hari), musim pancaroba menjelang
hujan atau labuh (95 hari), musim hujan atau dalam bahasa Jawa disebut rendheng (95 hari) , dan pancaroba akhir musim hujan atau marèng (86 hari).
Musim
dapat dikaitkan pula dengan perilaku hewan, perkembangan tumbuhan, situasi alam sekitar, dan dalam praktek amat berkaitan
dengan kultur agraris. Berdasarkan ciri-ciri ini setahun
juga dapat dibagi menjadi empat musim utama dan dua musim "kecil": terang
("langit cerah", 82 hari), semplah ("penderitaan",
99 hari) dengan mangsa kecil paceklik pada 23 hari pertama, udan
("musim hujan", 86 hari), dan pangarep-arep ("penuh
harap", 98/99 hari) dengan mangsa kecil panèn pada 23 hari
terakhir.
B.
Sejarah
Pranoto Mongso
Pranoto
mongso diperkenalkan pada masa Sunan Pakubuwana VII (raja Surakarta) dan mulai dipakai sejak 22 Juni
1856, dimaksudkan sebagai pedoman bagi para petani pada masa itu. Perlu disadari bahwa penanaman padi pada waktu
itu hanya berlangsung sekali setahun, diikuti oleh palawija atau padi
gogo. Selain itu, pranoto mongso pada
masa itu dimaksudkan sebagai petunjuk bagi pihak-pihak terkait untuk
mempersiapkan diri menghadapi bencana alam, mengingat teknologi prakiraan cuaca belum dikenal. Pranoto mongso dalam bentuk "kumpulan
pengetahuan" lisan tersebut hingga kini masih diterapkan oleh sekelompok
orang dan sedikit banyak merupakan pengamatan terhadap gejala-gejala alam.
Terdapat
petunjuk bahwa masyarakat Jawa, khususnya yang bermukim di wilayah sekitar Gunung Merapi, Gunung Merbabu, sampai Gunung Lawu, telah mengenal prinsip-prinsip pranoto mongso jauh sebelum
kedatangan pengaruh dari India. Prinsip-prinsip ini berbasis peredaran matahari di langit dan peredaran rasi bintang Waluku (Orion). Di wilayah ini,
penduduknya menerapkan penanggalan berbasis peredaran matahari dan rasi bintang
sebagai bagian dari keselarasan hidup mengikuti perubahan irama alam dalam
setahun. Pengetahuan ini dapat diperkirakan telah diwariskan secara
turun-temurun sejak periode Kerajaan Medang (Mataram Hindu) dari abad ke-9 sampai dengan periode Kesultanan Mataram di abad ke-17 sebagai panduan dalam
bidang pertanian, ekonomi, administrasi, dan pertahanan (kemiliteran).
Perubahan teknologi yang diterapkan
di Jawa semenjak 1970-an, berupa paket intensifikasi pertanian seperti
penggunaan pupuk kimia, kultivar berumur genjah (dapat dipanen pada umur 120 hari atau
kurang, sebelumnya memakan waktu hingga 180 hari), meluasnya jaringan irigasi melalui berbagai bendungan atau bendung, dan terutama berkembang pesatnya teknik prakiraan cuaca telah menyebabkan pranoto mongso (versi Kasunanan)
kehilangan banyak relevansi. Isu perubahan iklim global yang semakin menguat
semenjak 1990-an juga membuat pranoto mongso harus ditinjau kembali karena
dianggap "tidak lagi dapat dibaca".
C.
Penanggalan Pranoto Mongso
Pada tahun 1855 M, karena penanggalan bulan
dianggap tidak memadai sebagai patokan para petani untuk bertanam, maka
bulan-bulan musim atau bulan-bulan matahari yang disebut sebagai pranata mangsa
diperbaharui oleh Sri Paduka
Mangkunegara IV. Penanggalan yang telah diperbaharui tersebut ditetapkan
secara resmi dengan nama-nama pranata mangsa tersebut sebagai berikut :
Tabel 2.3 Daur kalender baku Pranata Mangsa
No.
|
Hamaning Mangsa
|
Waktu Mangsa
|
Umur Wastu
|
Wuntu
|
1.
|
Kasa (kartika)
|
22 Juni – 1 Agustus
|
41
|
41
|
2.
|
Karo (poso)
|
2 Agustus – 24
Agustus
|
23
|
23
|
3.
|
Katelu
|
25 Agustus – 17
September
|
24
|
24
|
4.
|
Kapat (sitra)
|
18 Sepetember – 12
Oktober
|
25
|
25
|
5.
|
Kalima (manggala)
|
13 Oktober – 8
November
|
27
|
27
|
6.
|
Kanem (naya)
|
9 November – 21 Desember
|
43
|
43
|
7.
|
Kapitu (palguna)
|
22 Desember – 2
Februari
|
43
|
43
|
8.
|
Kawolu (wasika)
|
3 Februari – 28
Februari
|
26
|
27
|
9.
|
Kasanga (jita)
|
1 Maret – 25 Maret
|
25
|
25
|
10.
|
Kasadasa (srawana)
|
26 Maret – 18 April
|
24
|
24
|
11.
|
Dhesta (pradawana)
|
19 April – 11 Mei
|
23
|
23
|
12.
|
Sadha (asuji)
|
12 Mei – 21 Juni
|
41
|
41
|
365
|
366
|
Menggah dhuawahing taun wuntu punika katentokaken saben 4 taun sapisan; dene
psangetangipun : menawi angkaning taun kapara 4 pinang ceples, dhawah taun
wuntu, kajawi yen angkaning taun wau dhauh atau jejeg.
1) Kasa, mulai 22
Juni, berusia 41 hari. Para petani membakar dami yang tertinggal di sawah dan
di masa ini dimulai menanam palawija, sejenis belalang masuk ke tanah,
daun-daunan berjatuhan. Penampakannya/ibaratnya : lir sotya (dedaunan) murca saka
ngembanan (kayu-kayuan).
2) Karo, mulai 2
Agustus, berusia 23 hari. Palawija mulai tumbuh, pohon randu dan mangga, tanah
mulai retak/berlubang. Penampakannya/ibaratnya : bantala (tanah) rengka
(retak). Musim kapok bertunas tanam palawija kedua.
3) Katiga, mulai
25 Agustus, berusia 24 hari. Musimnya/waktunya lahan tidak ditanami, sebab
panas sekali, yang mana Palawija mulai di panen, berbagai jenis bambu tumbuh.
Penampakannya/ibaratnya : suta (anak) manut ing Bapa (lanjaran). Musim ubi-ubian
bertunas panen palawija.
4) Kapat, mulai
19 September, berusia 25 hari. Sawah tidak ada (jarang) tanaman, sebab musim
kemarau, para petani mulai menggarap sawah untuk ditanami padi gaga, pohon
kapuk mulai berbuah, burung-burung kecil mulai bertelur. Penampakannya/ibaratnya
: waspa kumembeng jroning kalbu (sumber). Musim sumur kering, kapuk berbuah,
tanam pisang. . Pada masa ini kemarau berakhir.
5) Kalima, mulai
14 Oktober, berusia 27 hari. Mulai ada hujan, selokan sawah diperbaiki dan
membuat tempat mengalir air di pinggir sawah, mulai menyebar padi gaga, pohon
asem mulai tumbuh daun muda, ulat-ulat mulai keluar. Penampakannya/ibaratnya :
pancuran (hujan) emas sumawur (hujannya) ing jagad. Musim turun hujan, pohon
asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda.
6) Kanem, mulai
10 Nopember, berusia 43 hari. Para petani mulai menyebar bibit tanaman padi di
pembenihan, banyak buah-buahan (durian, rambutan, manggis dan lain-lainnya),
burung blibis mulai kelihatan di tempat-tempat berair. Penampakannya/ibaratnya
: rasa mulya kasucian (sedang banyak-banyaknya buah-buahan). Musim buah-buahan
mulai tua, mulai menggarap sawah.
7) Kapitu, mulai
23 Desmber, usianya 43 hari. Benih padi mulai ditanam di sawah, banyak hujan,
banyak sungai yang banjir. Penampakannya/ibaratnya : wisa kentar ing ing maruta
(bisa larut dengan angin, itu masanya banyak penyakit). Musim banjir, badai
longsor mulai tandur.
8) Kawolu, mulai
4 Pebruari, usianya 26 hari, atau 4 tahun sekali 27 hari. Padi mulai hijau,
uret mulai banyak. Penampakannya/ibaratnya : anjrah jroning kayun (merata dalam
keinginan, musimnya kucing kawin). Musim padi beristirahat, banyak ulat, banyak
penyakit.
9) Kasanga, mulai
1 Maret, usianya 25 hari. Padi mulai berkembang dan sebagian sudah berbuah,
jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin, cenggeret mulai bersuara.
Penampakannya/ibaratnya : wedaring wacara mulya ( binatang tanah dan pohon
mulai bersuara). Musim padi berbunga, turaes (sebangsa serangga) ramai
berbunyi.
10) Kasepuluh,
mulai 26 Maret, usianya 24 hari. Padi mulai menguning, mulai panen, banyak
hewan hamil, burung-burung kecil mulai menetas telurnya.
Penampakannya/ibaratnya : gedong minep jroning kalbu (masa hewan sedang hamil).
Musim padi berisi tapi masih hijau, burung-burung membuat sarang, tanam
palawija di lahan kering.
11) Desta, mulai
19 April, berusia 23 hari. Seluruhnya memanen padi. Penampakannya/ibaratnya:
sotya (anak burung) sinara wedi (disuapi makanan). Masih ada waktu untuk
palawija, burung-burung menyuapi anaknya.
12) Sadha, mulai
12 Mei, berusia 41 hari. Para petani mulai menjemur padi dan memasukkan ke
lumbung. Di sawah hanya tersisa dami. Penampakannya/ibaratnya : tirta
(keringat) sah saking sasana (badan) (air pergi darisumbernya, masa ini musim
dingin, jarang orang berkeringat, sebab sangat dingin). Musim menumpuk
jerami,tanda-tanda udara dingin pada pagi hari.
Dari Pranata Mangsa itu diketahui bahwa pada bulan
Desember-Januari-Pebruari adalah musimnya badai, hujan, banjir dan longsor.
Mendekati kecocokan dengan situasi alam sekarang dan jadwal itu sesuai dengan
perubahan iklim yang telah disepakati bersama.
Selanjutnya pada musim Kawolu antara 2/3
Pebruari - 1/2 Maret, bersiap-siaga waspada menghadapi penyakit tanaman maupun
wabah bagi manusia dan hewan, mungkin akibat dari banjir, badai dan longsor
tersebut akan berdampak menyebarnya penyakit dan kelaparan. Hal tersebut masuk
akal, karena manusia atau binatang bahkan tanamanpun belum siap mempertahankan
diri dari serangan hama penyakit.
Kaitannya dengan para nelayan, mereka melaut
sambil membaca alam dengan melihat letak bintang yang dianggap patokan yang
selalu menemani saat melaut. Sudah tentu mereka mengetahui pada bulan-bulan
berapa mereka saat yang baik melaut dan akan mendapatkan ikan banyak.
Sebaliknya mereka mengetahui saat-saat tidak melaut, berbahaya dan tidak akan
menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat itulah mereka gunakan waktu untuk
memperbaiki jaring-jaring yang rusak, memperbaiki rumah dan pekerjaan selain
melaut, sehingga mereka dapat mengurangi risiko dan mencegah biaya produksi
tinggi.
1. Mangsa Kasa/Sura :
Candrane : Sotya murca saking
embanan. Sotya = mutiara, murca =
hilang. Pindhane mutiara coplok saka embane. Akeh godhong padha rontok,
wit-witan padha ngarang. Awal mangsa ketiga.
Umure : 41 dina. 22 Juni – 1
Agustus.
2. Mangsa Karo :
Candrane : Bantala rengka. Bantala =
lemah, rengka= pecah. Lemah-lemah padha nela.Mangsane
paceklik larang pangan.
Umure : 23 dina. 2 Agustus – 24
Agustus.
3. Mangsa Katelu :
Candrane : Suta manut
ing bapa. Suta = anak. Pindhane anak manut marang
bapake. Pungkasane mangsa ketiga.Lung-lungan, bangsane
gadung, uwi, gembili padhamrambat.
Umure : 24 dina. 25 Agustus – 17 September
Umure : 24 dina. 25 Agustus – 17 September
4. Mangsa Kapat :
Candrane : Waspa kumembeng
jroning kalbu. Waspa = eluh, kumembeng = kembeng, kebak, kalbu = ati. Pindhane
eluh kebak ing jerone ati. Sumber padha garing.Awal mangsa labuh.
Umure : 25 dina. 18 Sptember – 12
Oktober.
5. Mangsa Kalima :
Candrane: Pancuran mas
sumawur ing jagat. Mas pindane udan. Wiwit ana udan. Para among tani
wiwit padha nggarap sawah.
Umure : 27 dina. 13 Oktober – 8
Nopember.
6. Mangsa Kanem :
Candrane : Rasa mulya
kasucian. Pindhane mulya-mulya rasa kang suci. Woh-wohan bangsane pelem lsp
wiwit padha awoh. Pungkasane mangsa labuh. Udan wiwit akeh lan deres.
Umure : 43 dina. 9 Nopember – 21
Desember.
7. Mangsa Kapitu :
Candrane : Wisa kentir ing
maruta. Wisa = racun, penyakit; kentir = keli, katut ; maruta = angin. Pindhane
: Penyakit akeh, akeh wong lara.
Umure : 43 dina. 22 Desember – 2
Pebruari.
8. Mangsa Kawolu :
Candrane : Anjrah jroning
kayun. Anjrah = sumebar, warata; kayun = karep, kapti. Pindhane akeh
pangarep-arep. Para among tani padha ngarep-arep asile tanduran. Wit pari padha
mbledug.
Umure : 26 dina. 3Pebruari – 28
Pebruari.
9. Mangsa Kasanga :
Candrane : Wedharing
wacana mulya. Wedhar = wetu; wacana = pangandikan, swara, uni; mulya = mulia,
endah. Pindhane akeh swara kang keprungu endah, kepenak. Garengpung padha muni,
gangsir padha ngethir, jangkrik padha ngerik.
Umure : 25dina. 1 Maret – 25 Maret.
10. Mangsa Kasepuluh/Kasadasa :
Candrane : Gedhong mineb
jroning kalbu. Pindhane akeh kewan padha meteng. Kucing padha gandhik. Manuk
padha ngendhog.
Umure : 24 dina. 26 Maret – 18 April.
11. Mangsa Dhesta :
Candrane : Sotya
sinarawedi. Sotya = mutiara; sinarawedi = banget ditresnani (?). Pindhane kaya
mutyara kang banget ditresnani. Mangsane manuk ngloloh anake. Mangsa mareng.
Umure : 23 dina. 19 April – 11 Mei.
12. Mangsa Sada :
Candrane : Tirta sah saking
sasana. Tirta = banyu; sah = ilang; sasana = panggonan. Pindhane wong-wong ora
kringeten jalaran mangsa bedhidhing (adhem). Akhir mangsa mareng.
Umure : 41 dina. 12 Mei – 21 Juni.
Kalender Pranatamangsa dapat juga
dipandang sebagai Kalender Orionik atau kalender yang menggunakan rasi
bintang, karena kehadiran Orion yang menurut masyarakat agraris dipandang
sebagai (Wa)luku/bajak lebih memegang peranan bagi masyarakat. Bagi petani di
masa lampau, dengan memegang beras pada telapak tangan terbuka, kemudian
mengarahkan tangan pada Luku pada rembang petang, maka ketika bulir-bulir beras
jatuh dari tangan, itulah saat untuk memulai bercocok tanam.Praktek penggunaan
kalender ini telah dilakukan semenjak sejarah Indonesia belum tercatat.
Patokannya tidak hanya benda langit, tapi juga fenomena yang terjadi di alam:
Musim tanaman, perilaku binatang, arah angin, kelembaban, curah hujan; dan
kalender ini dipergunakan sebagai pedoman bertani, berdagang, merantau,
berperang & pemerintahan. Baru di abad ke-19, kalender ini dibakukan
sebagai sistem kalender oleh Sri Susuhunan Pakubuwono ke-VII , 22 Juni 1856,
juga dengan memasukkan tahun Kabisat.
D.
Metode
dan Cara Penghitungan Pranoto Mongso
Jumlah
bulan dalam kalender ini sama dengan jumlah bulan pada kalender Masehi maupun
Hijriah yaitu terdiri dari 12 bulan. Sedangkan cara membuat dan masuknya bulan
pada kalender ini, cukup dengan mengikutkannya dengan kalender Masehi pada
tanggal dan bulan yang sudah ditentukan.
Contoh :
Tabel
2.4.1 Februari 2012
Senin
|
Selasa
|
Rabu
|
Kamis
|
Jum’at
|
Sabtu
|
Ahad
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11
|
12
|
13
|
14
|
15
|
16
|
17
|
18
|
19
|
20
|
21
|
22
|
23
|
24
|
25
|
26
|
27
|
28
|
29
|
Tabel
2.4.2 Maret 2012
Senin
|
Selasa
|
Rabu
|
Kamis
|
Jum’at
|
Sabtu
|
Ahad
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|||
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11
|
12
|
13
|
14
|
15
|
16
|
17
|
18
|
19
|
20
|
21
|
22
|
23
|
24
|
25
|
26
|
27
|
28
|
29
|
30
|
31
|
Keterangan :
1. 3-29 Pebruari : mangsa kawolu
(Rendheng - Pangarep-arep), Penampakannya/ibaratnya anjrah jroning kayun
(merata dalam keinginan, musimnya kucing kawin). Tanaman padi sudah menjadi
tinggi, sebagian mulai berbuah, uret mulai banyak.
2. 1-25 Maret : mangsa kasanga
(Rendheng - Pangarep-arep), Penampakannya/ibaratnya : wedaring wacara mulya (
binatang tanah dan pohon mulai bersuara). Padi mulai berkembang dan sebagian
sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, musim kucing kawin, tenggeret mulai
bersuara.
E.
Pengaplikasian
Pranoto Mongso pada Saat Ini
Prediksi
cuaca dan iklim tradisional bersifat lokal, seperti pranata mangsa hanya
berlaku untuk masyarakat di Pulau Jawa. Demikian juga dengan cara tradisional
lainnya seperti Palontara untuk masyarakat Sulawesi, Kala di Sunda, Porhalaan
di Batak, Wariga di Bali. Sistem prakiraan tradisional itu umumnya masih
digunakan petani lahan kering (tadah hujan), yang keberhasilan tanamannya
sangat ditentukan oleh curah hujan. Saat ini, penggunaan cara tradisional,
khususnya pranata mangsa sebagian masyarakat Jawa sudah banyak yang melupakan
dan tidak mempergunakan lagi.
Di
tengah pesatnya degradasi lingkungan dan lahan-lahan beralih fungsi, gejala
alam yang sangat berguna bagi petani mulai susah dijadikan patokan. Sebagai
ilustrasi sekarang ini, baru jam 21.00 saja ayam sudah berkokok, padahal dulu
biasanya kokok ayam pertama sekitar pukul 00.00. Akibatnya, meskipun pranata
mangsa ini masih digunakan, namun acapkali bias dan kurang adaptif, mengingat
indikatornya ikut hilang, seiring dengan terjadinya degradasi lingkungan,
dampak gas rumah kaca, dan panas global. Saya berkeyakinan bahwa Pranata Mangsa
itu bersifat lokalitas dan bukan bersifat global. Karena perhitungan raja hanya
memfokuskan objeknya pada masyarakatnya saja, yaitu pada rakyat Jawa, jadi kita
tidak bisa mengaplikasikan sistem Pranata Mangsa di daerah abnormal, seperti di
kutub, atau negara-negara Eropa, bahkan mungkin di Kalimantan-pun hasil
perhitungan baku Pranata Mangsa tidak berlaku sepenuhnya, karena daerahnya dekat
dengan katulistiwa dan disana banyak sungai yang mengalir yang berpengaruh
terhadap kesuburan tanah.
Meskipun
Pranata Mangsa itu bersifat lokal, tidak ada salahnya apabila kita yang berada
di kepulauan Indonesia ini menjadikan acuan untuk bercocok tanam, karena letak
geografis satu daerah dengan daerah lain masih dalam iklim tropis yang sama. Anugerah
perhitungan Pranata Mangsa seperti ini sudah sepatutnya kita syukuri, begitu
juga dengan sistem perhitungan-perhitungan yang lain, seperti kalender pertanian
yang dirancang untuk masyarakat Kalimantan oleh Datu Gadung Rantau , Kalimantan
Selatan pada awal abad XIX.
Terlepas
dari semua itu, adanya aturan sistematis tersebut menunjukkan kemajuan adat dan
budaya serta kemampuan orang Jawa untuk menganalisa masalah global dan
menafsirkannya dalam bentuk aturan baku. Pranoto mongso, masih dan akan tetap
dipakai oleh orang Jawa dalam berbagai aspek kehidupan.
Sebagaimana
yang telah kita ketahui bersama, Kalender baku Pranata Mangsa pada zaman dulu,
digunakan sebagai acuan dalam bercocok tanam, berlabuh di laut, dan lain
sebagainya. Selain untuk bercocok tanam kalender baku pranata mangsa ini bisa
kita jadikan senagai acuan laku tidaknya perdagangan kita, acuan Pranata Mangsa
itu kita jadikan sebagai sumber qiyas. sebagai contoh, pada mangsa Sadha, mulai
12 Mei, berusia 41 hari. Keadaan alam pada saat itu berkedudukan di titik musim
dingin, hal ini senada dengan ilmu geografi pada zaman sekarang ini. Dan efek
yang timbul pada makhluk hidup khususnya manusia yaitu jarang orang berkeringat,
sebab sangat dingin. Ketika pada musim hujan itulah kita kedinginan, maka
sangat tepat sekali apabila kita berjualan switer, payung, jas hujan dilengkapi
dengan pengadaan warung kopi.
Upaya raja dalam
menunjang suksesnya bertani ala Pranata Mangsa itu dilihat dari letak geografis
dan ekonomi. Akan tetapi kalau kita kaitkan dengan zaman sekarang, maka faktor
geografi dan ekonomi masih belum cukup, karena kita berhadapan dengan
masyarakat yang moralnya mengalami kemerosotan dengan semakin bertambah jauh
dari generasi Islam pertama. Kaitannya adalah sosiologi dan antropologi yang
berkembang di masyarakat setempat, dengankata lain kerugian bukan saja
disebabkan ketidak produktifannya dalam bercocok tanam akibat hama dan musim,
akan tetapi juga disebabkan maling yang mencuri tanaman kita (buah-buahan dan
lain sebagainya), maka dari itu untuk merealisasikannya pada zaman sekarang ini
perlu dilengkapi keterampilan dan memahami apa yang terkandung dalam kitab
primbon bagi orang jawa, bagi orang kalimantan (dayak) dengan memesang jimat
agar maling tidak bisa mengambilnya, sementara kita selaku orang muslim dengan
memperbanyak doa, solat dhuha, sedekah, bahkan solat istisqa ketika air hujan
belum kunjung tiba membasahi lahan pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar